Senin, 05 Maret 2012

JASA SEKEPING UANG PENNY

Sambil mengeluarkan tangannya yang menggenggam sekeping uang penny, berkatalah Maggie pada si tua Dan, "Ambil uang penny saya, Paman." Nelayan tua itu sedang duduk di bangku memperbaiki jala. Abang Maggie, Andrew, menariknya mundur. Bisiknya, "Maggie, dia bukan pengemis."


TETAPI Maggie tidak menghiraukannya. "Ambil saja, Paman."


Si tua Dan tersenyum dan menerimanya. "Terima kasih, Nak," katanya.


Setelah itu Maggie dan Andrew pergi ke bagian pantai yang berbeda. Mereka berniat mencari kerang.


"Ayo, kita lihat nanti siapa yang memperoleh kerang lebih bagus," kata Andrew.


Maggie tidak memperhatikan betapa cepat waktu berlalu, serta bagaimana keadaan di laut telah berubah. Ia merasa lelah. Lalu duduklah ia di sebuah karang di samping sebuah genangan kecil air yang penuh tetumbuhan laut.


Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara didekatnya. Anjing Dan yang besar, Rover, melompat turun dari sebuah tebing karang! Anjing itu menjilati tangannya dan mengeluarkan suara mendengking, dan dengan lembut segera menarik-narik baju roknya.


"Rover ingin agar aku segera pergi dari sini," pikirnya, sambil ia menepuk-nepuk tengkuk si anjing. Maggie pun pergi meninggalkan karang itu untuk pulang.


Tetapi celaka! Ternyata perjalanan tidak semulus tadi. Tempat yang tadi dilaluinya dengan mulus, kini sangat sulit didaki. Hal itu disebabkan oleh air pasang. Bebatuan di situ kini menjadi basah dan licin.


Apa yang bisa dilakukan Maggie? Ia terisak dan berteriak, tetapi suara ombak lebih keras daripada suaranya. Dan barangkali ia bisa tenggelam kalau tidak ada Rover.


Anjing itu memanjat ke sebuah tebing karang besar dan memperkeras gonggongannya yang serak, sampai melebihi suara gelombang.


Ketika Andrew telah lelah mencari kerang, ia pergi mencari Maggie, tetapi tak menemukannya. Dikiranya adiknya telah pulang. Tetapi sampai di rumah diketahuinya sang adik belum pulang.


Sementara itu si nelayan Dan membawa jalanya ke puncak tebing. Ia sedang merentangkannya, ketika ia mendengar gonggongan anjing yang keras.


Ia yakin bahwa itu suara Rover. "Rover dalam kesulitan!" cetusnya. Ia lalu pergi ke tepi tebing dan memandang sekelilingnya. Kemudian dilihatnya apa yang terjadi. Rover menyalak minta tolong, dan seorang anak perempuan berdiri ketakutan di sampingnya.


"Astaga, dialah anak yang memberiku uang satu penny tadi pagi!' serunya. Nelayan tua itu bergegas pergi ke pondok anak lelakinya.


"Nak, cepat ambil perahu," serunya. "Cepat dayung ke Teluk Remis. Ada bocah hendak tenggelam."


Nelayan muda itu tidak membuang waktu. Dikayuhnya perahu ke pantai teluk yang setiap saat bisa digenangi air pasang itu. Si kecil Maggie dan Rover yang terperangkap di tebing karang itu bisa di selamatkan. Si tua Dan menunggu dipantai. Ia ikut menarik Maggie keluar dan menyerahkannya kepada sang Ibu yang sudah dilapori kejadian itu.


Kata nelayan tua itu kepada Bu Weston, ibu Maggie, "Semua itu berkat sekeping uang penny yang diberikannya padaku, Bu. Kulihat Rover memandangi bocah itu ketika menaruh keping uang penny ke tanganku. Seperti ia hendak berkata, 'Rover bakal jadi sahabatmu, Nak.' Dan kupikir pasti ia menguntitnya sepanjang hari itu, sebab ia tak pernah ada di dekatku."


Bu Weston ingin membeli anjing itu, tetapi Dan tidak mau berpisah dengan anjing kesayangannya. Beberapa tahun kemudian, Rover datang ke rumah Maggie membawa sebuah catatan kecil, tertulis,


"SUDIKAH MAGGIE MEMELIHARA ROVER? MAJIKANNYA SUDAH MENINGGAL."


Sumber: Majalah Bobo, no.13 - 9 Juli 1988

Sabtu, 18 Februari 2012

KERAMAHAN SEORANG DETEKTIF

Jim Trent seorang detektif yang ditugaskan untuk menangkap seorang buronan berbahaya bernama Bill Howard. Ia merasa tugasnya kali ini cukup berat. Ia harus menyusup jauh ke wilayah Cumberlands, Tennesse (Negara Bagian Amerika), tempat tinggal keluar Bill Howard.


SIANG ITU Trent menghentikan mobilnya di tepi jalan dan meninggalkannya. Dengan berjalan kaki, Trent menyusuri jalan setapak yang menuju ke lereng bukit. Sebuah rumah sederhana nampak berdiri kokoh dipunggung bukit. Trent melangkah ke arah rumah itu dengan hati mantap.


Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah orang yang sedang dicarinya berada dalam rumah itu? Ia merasa tak yakin. Tetapi bagaimanapun ia harus mendapat kepastian. Bill Howard telah banyak membuat kejahatan. Ia seorang pemuda yang licik dan cerdik. Polisi tak pernah dapat menangkapnya. Hal ini semakin membuat resah masyarakat kota. Terutama toko serba ada, bank dan rumah orang kaya yang menjadi sasarannya selama ini. Dan sekarang Bill Howard berada di daerah perbukitan wilayahnya sendiri, yang tentu saja semakin sulit ditangkap. Penduduk setempat akan melindunginya, bila ada orang yang mencari Bill Howard. Demikian pula keluarganya.


Telah berulang kali polisi dikirim untuk menangkap buronan itu. Tetapi mereka semua pulang ke markas dengan kegagalan. Rumah tinggal keluarga Howard mudah ditemukan. Tetapi di manakah Bill? Itulah yang sulit dilacak!


Ketika Trent mengetuk pintu rumah, pintu terbuka sendiri tanpa ada orang yang berdiri di ambang pintu menyambutnya. Semula Trent ragu, tetapi kemudian dengan mantap melangkah masuk, Empat lelaki dan seorang perempuan setengah baya, menyambutnya dengan tatapan dingin.


Trent balas memandang mereka satu demi satu. Dan pandangannya berakhir pada seorang lelaki tua, yang rambutnya sudah putih semua. Ia memperkirakan lelaki tua itu pasti ayah Bill Howard. Maka Trent segera mengangguk hormat lalu tersenyum kepadanya.


"Nama saya Jim Trent," kata Trent memperkenalkan diri. "Saya seorang detektif polisi. Kalau boleh saya mengetahui, apakah Tuan ayah Bill Howard?'


Lelaki tua itu diam saja. Tetapi Trent yakin dugaannya tak akan salah.


"Saya datang membawa surat perintah penangkapan," kata Trent lebih lanjut. "Apabila anak Tuan berada di sini, maka saya berkewajiban untuk membawanya ke kantor polisi."


"Aku yakin kau tak akan mampu melakukannya," sahut lelaki tua itu dengan nada datar. "Bill tak akan pernah bisa dibawa ke kantor polisi. Dia tak melakukan kesalahan apa pun, kecuali melanggar undang-undang. Dan bagiku, undang-undang hanya buatan orang-orang tertentu, yang hanya untuk melindungi orang-orang kaya. Tetapi itu semua tak berlaku bagi orang-orang miskin seperti kami. Kami telah dibebani pajak yang amat tinggi. Lalu apalagi yang hendak dituntut dari kami yang sudah semiskin ini?


Orang-orang semacam kau, yang menjadi orang upahan untuk kepentingan orang kaya, tak sepantasnya datang kemari!"


Serentetan caci-maki yang ditujukan pada undang-undang dan pajak, terlontar dari mulut Tuah Howard. Namun, Trent tak menjawab sepatah kata pun. Ia juga tak menunjukkan sikap tersinggung dengan caci maki itu. Dengan sabar Trent menunggu sampai habis semua kekesalan hati lelaki tua itu. Kemudian Trent berkata, "Saya tidak menyalahkan Tuan yang punya perasaan begitu. Jika Tuan mengatakan bahwa Bill tak ada di rumah ini, saya akan mempercayai setiap perkataan Tuan. Karena itu saya hendak pamit pulang."


"Dia tak ada di sini!" hardik Tuan Howard. "Dan kau bersama komplotanmu tak akan pernah bisa menangkapnya, walau seratus tahun kalian mencarinya!"


"Baiklah, kalau demikian perkenakanlah saya pamit pulang," sahut Trent sambil membalikkan badan, dan siap hendak melangkah keluar. Tetapi sebuah suara keras menghentikan langkahnya.


"Kau tidak akan pernah keluar dari rumah ini!"


Perlahan-lahan Trent menoleh kembali berhadapan dengan wajah-wajah tak ramah. Lelaki tua itu kini menodongkan sepucuk senapan berkaliber besar ke arahnya. Trent hanya bisa mengangkat bahu, lalu duduk dikursi dekat perapian. Keheningan mencekam di dalam ruangan rumah itu.


Sementara wanita setengah baya yang sejak tadi mengikuti pembicaraan itu, pelan-pelan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dan keempat lelaki lainnya masih tetap duduk di tempatnya. Mereka diam tak saling berkata-kata. Sementara hari mulai gelap. Salah seorang dari mereka menyalakan lampu minyak. Terkadang mereka saling menyodorkan botol yang berisi minuman terbuat dari sari jagung.


Tanpa disengaja Trent melihat ada sebuah biola tua, yang tergantung di dinding dekat perapian. Ia kemudian mengambilnya dan mulai memainkan beberapa lagu. Tak seorang pun mencegah perbuatannya itu. Padahal Trent sudah siap bila ada seorang yang akan merampas biola itu dari tangannya.


Mula-mula Trent memainkan lagu-lagu berirama lembut. Tetapi kemudian ia mulai memainkan beberapa lagu bernada gembira. Ia merasa suasana tegang di ruang itu mulai mengendur. Dan Trent terus memainkan lagu-lagu yang masih diingatnya. Dulu ia pernah menjadi anggota orkes di sekolahnya. Dan ia salah seorang pemegang biola.


Keempat lelaki yang duduk di ruang itu mulai menghentak-hentak kaki mengikuti irama lagu. Hingga akhirnya menjelang tengah malam, salah seorang di antara mereka meminta Trent memainkan lagu kesayangan keluarga Howard. Keempatnya pun kini bertepuk tangan sambil menari gembira. Melihat kegembiraan mereka, Trent tersenyum sambil terus menggesek biolanya.


Setelah itu, Trent menggantungkan kembali biola tersebut di tempatnya semula. Lalu katanya, "Tuan Howard, bila tuan mempunyai tempat tidur lebih, aku akan menginap di sini."


Lama sekali lelaki tua itu menatap Trent. Namun kali ini tatapannya tak sesinis tadi. Bahkan dengan hangat ia langsung menjabat tangan Trent erat-erat.


"Pulanglah," sahutnya kemudian, "Tunggu saja di Louisville. Aku akan mengantarkan sendiri anakku ke sana. Tetapi sekarang sudah pagi, mari kita sarapan dulu."


Setelah sarapan dan berbincang-bincang santai, Trent meninggalkan rumah keluarga Howard. Wajah-wajah mereka kini penuh dengan rasa persahabatan. Bahkan Howard tua mengantarkan Trent sampai ke mobilnya. Trent meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega. Apalagi setelah di dengarnya Howard tua mengulangi janjinya.


Beberapa hari kemudian Howard tua datang bersama Bill ke Louisville. Trent menyambut mereka seperti layaknya terhadap sahbat-sahabat dekatnya. Ia tetap bersikap ramah, sekali pun di hadapannya kini berdiri seorang penjahat. Namun, Trent yakin orang itu jadi tak berbahaya, bila diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal itu telah dibuktikannya beberapa waktu yang lalu.


Selang beberapa bulan setelah Bill Howard berada dalam penjara, pengadilan memutuskan untuk membebaskannya dengan uang jaminan. Hal itu disebabkan semua hasil rampokan Bill Howard selama ini, dibagi-bagikan pada orang-orang miskin di daerahnya. Rupanya hal itu menyebabkan ia selalu terhindar dari kejaran polisi. Karena penduduk dan keluarganya selalu melindungi Bill. Tetapi walau bagaimanapun, keadilah harus ditegakkan. Segala tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat, tentu saja harus ada hukumnya.


Source: Majalah Bobo no.40 - 14 Januari 1989

Rabu, 14 Desember 2011

KELEDAI DAN UNTA

Keledai adalah seekor binatang yang periang. Ia sering membawa barang-barang dan tidak akan mengeluh kalau ada anak yang menungganginya. Tetapi keledai terkenal juga dengan kebodohannya.

SUATU KETIKA, bertahun-tahun yang lampau, Keledai dan Unta bersahabat baik. Majikan mereka seorang kejam. Ia selalu memperlakukan mereka dengan kasar. Mereka selalu sibuk membawa barang-barang muatan ataupun orang.

Suatu hari mereka memutuskan untuk meninggalkan majikan mereka. Mereka berlari sampai tiba di padang yang hijau, jauh dari kandang tua mereka. Mereka menemukan sebuah gua dan tinggal di sana.

Mereka hidup bahagia di padang itu. Di sana banyak rumput dan air. Dan di sana tidak ada muatan dan majikan kejam. Keledai tumbuh cepat dan gemuk. Suatu hari ia berkata temannya, si Unta, "Aku sangat gembira dan bahagia di sini. Aku ingin berteriak dan menyanyi."

Temannya menjawab, "Tidak maukah kau diam dan tenang? 
Jika kau menyanyi, seseorang mungkin mendengar dan melaporkan kita ke majikan."

Selama beberapa saat, Keledai setuju dan tetap tenang. Tetapi ia sangat ingin bernyanyi, sehingga ia melupakan nasihat temannya. Ia mulai menyanyi. Seseorang mendengarnya dan segera melapor kepada majikan mereka. Mereka kemudian ditangkap.

Dalam perjalanan pulang, si Keledai jatuh sakit. Siang majikan meletakkan dia ke punggung Unta. Tentu saja Unta marah sebab Keledai tidak mau mendengarkan nasihatnya. Ia menjadi semakin marah, ketika harus membawa keledai. Ketika ia melalui jalan yang curam dan berbatu, ia mulai bergoyang dan membuat gerakan aneh. Si Keledai ketakutan, maka ia bertanya pada temannya, "Apa yang sedang kaulakukan?"

"Aku sedang menari," jawab Unta dengan tenangnya.

"Apakah ini saatnya untuk menari?" tanya Keledai.

"Ya," jawab Unta, "sama halnya ketika kau bernyanyi!" Unta terus berjalan goyang dan menyepak-nyepak sampai si Keledai terjatuh di bebatuan dan terluka.

Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

Kamis, 24 November 2011

PERMATA AJAIB

Sejak zaman kuno, Korea terkenal tidak hanya sebagai penghasil permadani yang indah, tapi juga mempunyai kebudayaan timur yang tinggi. Orang-orang Korea juga terkenal sangat ramah, dan kehidupan keluarganya pun selalu nampak harmonis, rukun dan akrab satu sama lain. Mereka pun rajin dan teliti. Cerita rakyat ini adalah salah satu bukti, rakyat Korea mempunyai kebudayaan timur yang tinggi.


DI SUATU DESA di pegunungan bagian barat Korea, hidup dua orang kakak beradik bersama ibu mereka yang sudah tua. Ibu itu sudah menjanda. Hidupnya amatlah miskin. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja berat. Tanggungan keluarga kini menjadi beban kedua anaknya yang masih muda. Mereka bekerja pada seorang kaya di seberang desa. Pekerjaan mereka membelah kayu bakar, memasak air dan membuat perapian.


Suatu hari ketika mereka sedang bekerja, berkatalah si adik kepada kakaknya.


"Kak, ambillah air ke sungai,  biar aku yang membelah kayu."


"Biarlah kita kerjakan bersama-sama, setelah selesai baru kita mengambil air ke sungai," jawab kakaknya.


Mereka pun berjalan ke sungai untuk mengambil air dengan bejana. Tapi karena lapar dan lelah, mereka terpeleset dan jatuh, hingga pecahlah bejana yang penuh dengan air itu. Oleh orang kaya itu mereka tidak dimarahi, tapi diusir dan tak boleh lagi bekerja. Mereka pun pulang tanpa membawa makanan seperti yang selalu mereka bawa, setelah bekerja seharian penuh pada orang kaya itu.


Dalam perjalanan pulang, mereka saling berpegangan tangan melintasi jembatan gantung yang panjang. Tetapi baru sampai di tengah jembatan, mereka berhenti karena melihat sesuatu yang indah di dasar sungai yang airnya jernih itu.


Ketika benda itu mereka ambil, terkejutlah mereka, sebab benda itu ternyata sebuah permata! Mereka menyimpan permata itu di dalam saku dan kemudian pulang.


Sesampai di rumah, mereka menceritakan semuanya kepada ibu mereka. Si ibu menyuruh untuk menyimpan permata itu.


Tapi berkatalah anaknya yang pertama, "Bu, di mana kita harus menyimpan permata ini, sedangkan kita tidak mempunyai kotak untuk menyimpannya."


Mereka berpikir mencari kotak untuk menyimpan permata itu. Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menyimpan permata itu di dalam kotak beras mereka yang sudah kosong. Kemudian mereka terlelap tidur.


Pagi-pagi benar, sebelum mereka mencari kerja, kedua kakak beradik itu membuka kotak beras hendak melihat permata. Tapi alangkah terkejutnya mereka.


"Dik, lihatlah, kotak beras kita penuh dengan beras," kata si Kakak.


"Dan permata itu bersinar-sinar di atasnya," teriak adiknya kegirangan.


"Dik, bagaimana kalau kita persiapkan makan pagi kita dengan beras ini," usul kakaknya.


"Baiklah, Kak!" jawab adiknya menyetujui.


Mereka pun siap untuk sarapan pagi bersama ibu mereka. Ketika akan makan berkatalah si ibu kepada mereka, "Anak-anakku, sebelum kita makan, sebaiknya mengucaplah syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dan jangan lupa bagikanlah beras itu kepada para tetangga kita yang miskin."


Mereka kemudian membagi-bagikan beras itu kepada para tetangga. Dan kotak beras itu selalu penuh kembali setiap mereka mengambil beras.


Sampai suatu ketika kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa dan mempunyai pekerjaan yang tetap.


Kakak yang lebih tua telah pula menikah. Kedua kakak beradik itu sepakat untuk hidup terpisah. Mereka bermaksud membagi harta mereka termasuk permata itu.


Maka berkatalah kakak yang lebih tua kepada adiknya, "Dik, permata ini tidak dapat dibagi, maka ambil sajalah untukmu. Kamu boleh pergi untuk menikah dan hidup dengan keluargamu."


"Tidak, ini untuk Kakak! Kakaklah yang pertama kali melihatnya dan membawa pulang permata itu" jawab adiknya.


Mereka ingin membagi permata itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya mereka sepakat mengembalikan permata itu ketempat sediakala, agar ditemukan orang lain yang miskin seperti mereka dulu.


Mereka pun pergi ke jembatan gantung itu dan melempar permata itu ke sungai. Tapi alangkah terkejut mereka, karena ternyata terdapat lagi dua permata di dasar sungai itu. Dan kedua kakak beradik itu mengambil masing-masing satu permata.


Kini mereka hidup dengan keluarganya masing-masing dalam keadaan bahagia dan kecukupan. Sampai sekarang walaupun sudah berilmu tinggi, pandai, dan sudah berkecukupan, orang Korea masih tetap rajin belajar dan bekerja.


Sumber: Majalah Bobo, No.50 - 19 Maret 1988

Sabtu, 12 November 2011

TERLALU MENGHARAP PERTOLONGAN

LEGA hati Rani ketika ia keluar dari dalam bis yang pengab itu. Kini ia dapat bernapas dengan lega. Di hirupnya udara sepuas-puasnya ke dalam paru-parunya. Lalu di hembuskannya kembali keluar melalui lubang hidungnya.


Dipandanginya kedua tas bawaannya yang menggeletak dekat kakinya. Satu tas penuh berisi baju-bajunya. Satu tas lagi penuh berisi oleh-oleh buat Nenek.


"Uuh, berat juga," gumam Rani sambil mengangkat tas berisi baju. Disandangnya tas itu dipundaknya. Lalu tas yang satunya lagi dibawanya dengan tangan kiri.


Selangkah demi selangkah Rani memulai perjalanannya ke rumah Nenek. Rumah Nenek masih jauh. Rani harus menempuh perjalanan sekitar 4 kilometer. Padahal di tempat itu tidak ada becak ataupun sado. Rani harus menempuh jarak sejauh itu dengan menggunakan kedua kakinya.


Baru beberapa ratus meter melangkah, Rani sudah berhenti. Kedua tas yang dibawanya memang cukup berat. Sambil mengusap peluhnya Rani menoleh ke kanan dan kekiri. Namun, jalan menuju desa Nenek tetap lengang.


"Sepi. Kok tidak ada orang pulang dari pasar," gumam Rani. "Baiklah aku akan pelan-pelan. Barangkali sebentar lagi ada orang sedesa Nenek pulang dari pasar."


Bagi gadis sekecil Rani kedua tas itu cukup berat. Terutama tas yang berisi oleh-oleh. Entah oleh-oleh apa yang dititipkan ibu. Oleh-oleh yang dibawa ke desa memang selalu banyak. Oleh-oleh itu akan dibagi-bagikan pada saudara-saudara Rani. Hampir seluruh saudara dari pihak ibu tinggal di desa itu.


Terik matahari mulai terasa menyengat. Peluh seakan membanjir dari tubuh Rani yang kecil itu. Sambil menggigit bibir menahan tangis Rani terus melangkah. Rasa capai, haus, lapar dan kesal campur aduk menjadi satu. Rani seakan ingin menjerit menumpahkan rasa kesalnya.


Hari semakin siang. Rani terus menapak di jalanan desa yang berdebu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk sekedar menarik napas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah lautan padi. Sesekali angin kering bertiup mengusap wajahnya.


"Oh, ah, capai.... capai..." keluhnya sambil melemparkan begitu saja kedua tas bawaannya. Rani lalu duduk di rerumputan tepi jalan. Ia sama sekali tidak mengindahkan debu yang mengotori bajunya. Rani sangat kecapaian. Padahal rumah Nenek masih jauh. Tak terasa air matanya mulai menetes.


Sebetulnya Rani tak akan menderita seperti itu, kalau saja ia mau bersabar. Rano kakaknya yang duduk di kelas enam juga akan ke desa. Namun sebelum pergi Rano harus membantu Ayah membetulkan pompa air. Paling tidak dibutuhkan waktu dua hari untuk membongkar pompa air. Rani tidak sabar kalau harus menunggu selama itu. Ia sudah sangat rindu pada Nenek. Karena itu ia mengambil keputusan, akan berangkat ke desa seorang diri.


"Kamu berani?" tanya Rano waktu itu.
"Mengapa tidak?" jawab Rani. "Kalau di jalan ada yang menggangguku. Ciatt ..." Rani memperagakan beberapa jurus silat. Dan ... berrr ... Rani meloncat ke arah kakaknya sambil melancarkan tendangan. Rano menangkis lalu balas memukul. Kalau saja ibu tidak datang melerai, keduanya pasti sudah berantem.


"Kalau begitu tinggalkan oleh-oleh itu," kata Rano akhirnya. "Biarlah oleh-oleh itu aku yang membawa."


"Tidak! sahut Rani bersikeras. "Datang ke desa tanpa oleh-oleh tidak lucu!"


"Jadi, oleh-oleh seberat itu akan kaubawa?"
"Ya!" sahut Rani ketus.


"Baiklah, Tuan Putri. Silahkan berangkat ke desa untuk menjumpai nenek tercinta," Rano membungkuk lalu tangannya melambai menirukan adegan drama di teve.


"Huh!" Rani hanya mencibir. Rano terbahak.


Kini ditengah sawah Rani menyesal, karena telah berangkat sendiri. Tapi penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kini ia harus berjuang seorang diri melawan rasa capek, haus dan lapar. Ia harus berhasil. Ya, berhasil mencapai rumah Nenek!


"Haiit!  Ciaat!" Ciaat!" Rani serentak melompat lalu melancarkan empat kali pukulan ke udara. Dengan napas terengah-engah diraupnya kedua tas bawaannya. Lalu dengan langkah ditegap-tegapkan Rani berangkat.


"Raniii!" jerit Nenek menangisi kedatangan cucunya, diusapnya peluh yang membasahi wajah dan tubuh Rani. "Kamu dengan siapa? Sendirian dengan tas seberat ini. Oh, minum! Minum dahulu, cucuku." Nenek bergegas mengambil air kendi yang dingin itu lalu membasahi kerongkongan Rani.


Paman, Bibi, dan seluruh saudara Rani di desa segera berkumpul. Di antara bibinya ada yang menangis. Mereka mengira Rani pergi ke desa tanpa izin kedua orang tuanya.


"Rani tak apa-apa, Nek, Bibi," kata Rani setelah hilang segenap rasa lelahnya.


"Dalam suratmu kamu bilang akan datang sekitar tanggal lima belas," kata Nenek.


"Ulangan catur wulan kali ini diajukan sepuluh hari, Nek. Seminggu kemudian terima rapor. Lalu Rani langsung kemari."


"Tapi mengapa harus dengan membawa tas seberat itu," sela Bibi dengan nada penuh sesal.


"Begini, Bi," sahut Rani sambil tersenyum. "Menurut perkiraan Rani pasti banyak tetangga Nenek yang pergi ke pasar. Nah, masa tidak ada orang yang mau membantu membawakan tas ini."


"Perkiraanmu salah, Cu!" Nenek terkekeh. "Hari pasar kan jatuh dua hari lagi. Tentu saja tak ada orang pergi ke pasar. Lagi pula sekarang sedang musim orang menyiangi rumput dan menyebar pupuk. Oh, Cu! Kasihan benar nasibmu."


"Hitung-hitung sebagai penambah latihan ilmu silatmu," Paman ikut menyambung. "Kata ayahmu, kau semakin rajin latihan silat. Bagus!"


Hati Rani menggunung menerima pujian Paman. Secara tidak langsung semangat ilmu silatnyalah yang turut membantu. Dengan semangat itu ia berhasil membawa beban berat ke rumah Nenek. Hatinya puas, walaupun harus ditebus dengan pundak dan tangan yang lecet. Lecet akibat kedua tali tas bawaannya.


Sumber: Majalah Bobo, no.50 - 19 Maret 1988

Rabu, 09 November 2011

KALAU IBU MARAH TANDANYA SAYANG

Pagi itu aku bermain sendirian. Sepi dan membosankan! Kiky, boneka besar pemberian ibuku, kubiarkan tergeletak jauh di hadapanku.


AKU iri melihat Ani, kakakku, yang sedang berteriak ramai bersama Ira, Lia, Tia, dan anak lainnya. Mereka main loncat tinggi. Permainan yang paling kusukai. Karena di antara teman-temanku akulah yang paling jago. Setinggi apapun karet yang direntangkan aku selalu berhasil melampaui. Maksudku tentu saja setinggi ukuran anak-anak seusiaku. Kemarin pun aku berhasil melampaui rentangan karet yang sama tingginya dengan tinggi ibuku. Setelah kulampaui aku baru tahu bahwa Tia yang mendapat giliran memegang karet berdiri di ujung jari kakinya sehingga tingginya bertambah beberapa senti. Anak-anak lain meneriaki Tia yang bermain curang. Mungkin karena kesal dan bosan memegangi karet terus, maka Tia mencoba berbuat curang agar aku segera kalah. Sampai permainan selesai aku tidak juga mendapat giliran memegang karet. Enak saja aku memandangi anak-anak yang menggerutu karena tidak bisa melampaui ketinggian karet yang direntangkan.


Tetapi sekarang aku enggan untuk ikut bermain dengan mereka. Soalnya sekarang aku lagi ngambek.


Terdengar teriakan Ira yang ditujukan pada kakakku. Aku tersenyum. Rupanya kali ini juga kakakku tak bisa melampaui. Tentu sekarang Ira tertawa kesenangan karena kini gilirannya untuk berlompat-lompatan.


Aku mencoba melongokkan kepala melihat anak-anak itu. Tetapi, uff... dari jauh aku melihat Ibu menjinjing keranjang yang berisi penuh barang belanjaan. Kupeluk bonekaku lalu menyelinap masuk sebelum Ibu melihatku.


Terdengar langkah kaki masuk. Kemudian suara benda yang diletakkan di atas meja.


"Bu, kue lapis pesananku," Ani tiba-tiba masuk. Aku kaget. Baru kuingat bahwa tiap hari Minggu Ibu selalu membeli kue lapis kegemaranku.


"Nih, satu untuk Ani, satu lagi untuk Ati," ujar Ibu. "Mana Ati?" Mungkin Ibu heran tidak melihat kehadiranku. Aku ragu-ragu mendengar panggilan Ibu. Hari ini, kan aku sedang ngambek pada Ibu.


"Nggak tahu!" kudengar kakakku menjawab. Suaranya tidak begitu jelas. Mulutnya pasti penuh kue lapis itu.


Perlahan aku keluar sambil memegangi Kiky erat-erat. Sebetulnya aku masih ngambek pada Ibu. Karena kemarin Ibu memarahiku. Gara-gara telur yang kujatuhkan. Padahal nggak sengaja. Sungguh! Tetapi kalau aku tidak keluar pasti Ibu memberikan kue bagianku pada kakakku. Maka dengan muka cemberut kuhampiri Ibu.


Ibu menoleh, "Ini, untukmu," Ibu menyodorkan kue. Masih dengan muka cemberut aku menerima kue itu.


"Kalau mulutnya cemberut, kuenya masuk lewat mana?" Kakakku geli melihat kejudesanku, Ibu tertawa. Aku mendelik. Huh, sebal! Rasanya ingin kulempar kue itu. Tetapi sayang, kue itu kan enak. Cepat aku keluar. Aku berniat menghabiskan kue itu di beranda.


"Ibu mau masak apa?" Sayup-sayup suara Ani terdengar. "Ibu mau membuat kue," jawab Ibu, "Ibu tadi sudah beli telur lagi." Lalu terdengar suara pembungkus makanan yang dirobek.


Sambil memakan kue aku berpikir. Pantas ibu menyayangkan telur-telur yang kujatuhkan. Rupanya telur itu untuk membuat kue, agar kami tidak jajan di luar.


Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam hatiku. Aku ingin membantu Ibu membuat kue-kue itu. Tetapi aku merasa malu karena seharian ini aku tidak bersikap ramah pada Ibu.


Kututup pintu depan perlahan sekali. Ragu-ragu aku menghampiri tempat Ibu berada.


"Ini untuk sayur lodeh," suara Ibu makin dekat terdengar.


"Daun melinjo, kelapa, wuluh. Lho, ini apa, Bu?" Ani menata belanjaan yang dikeluarkan.


"Namanya laos," jawab Ibu, "Nah, sekarang bantu Ibu membuat sayur ini."


"Kelapa diparut," ujar Ani. Aku tersenyum mendengar ocehan kakakku. Kalau ibu membuat sayur lodeh, aku yang selalu mendapat bagian memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Jari-jariku tak pernah lagi ikut terparut.


"Hm, persediaan bawang gorengnya habis," ujar Ibu, "Ti, Ati, bantu Ibu."


Perlahan aku muncul di pintu dapur. Kesempatan yang baik. Ibu membutuhkan bantuanku.


"Beli bawang merah sana. Ini uangnya."


Kuterima uang dari tangan Ibu lalu berlari keluar.


"Kalau ibu memarahi kamu, itu tandanya sayang," terngiang-ngiang suara kakakku kemarin waktu Ibu selesai memarahiku. Kupikir kakakku berpihak pada Ibu, karenanya aku juga ikut sebal padanya. Sebagai protes aku melepas kepangan di rambutku. Biar ibu tahu bahwa hasil kepangan Ibu jelek.


Tanpa sadar aku merasa rambutku. Di situ tidak ada kepangan. Karena kemarin aku melepasnya.


Tiba-tiba aku merasa rindu dikepang oleh Ibu.


Sepulang dari warung Bik Irah aku berdoa, mudah-mudahan Ibu mau mengepang rambutku nanti sore seperti biasanya.


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting