ADA mendung pagi-pagi. Bukan di awan tetapi di wajah Menik. Mendung itu tiba-tiba saja meliputi wajah Menik ketika Papa berkata, "Pagi ini kamu naik bus saja, ya. Mobil Papa rusak, jadi tidak bisa mengantarmu ke sekolah."
"Uah! Mana tahan," Menik mengeluh. Hampir saja air mata menitik di pipinya. Apa kata teman-temannya nanti bila melihat dia naik bus? Bukan cuma itu. Naik bus tentu sangat tidak menyenangkan karena harus berdesak-desakan dengan orang banyak. Belum lagi mesti menunggu lama di pemberhentian bus. Huuuh, kenapa sih Papa tidak menukar mobil mereka dengan yang baru saja agar tidak sebentar-sebentar mogok.
"Aduh!"
Menik tersadar ketika dia merasa telah menubruk sesuatu. Rupanya karena jalan sambil melamun dia tidak melihat seorang anak yang sedang menjajakan kuenya.
"Oh, maaf, ya," katanya buru-buru. Lalu dia berjongkok untuk memunguti kue-kue yang jatuh.
"Sayang kuenya sudah kotor. Biar kuganti saja. Berapa harganya?" katanya sambil merogoh tasnya.
"Tidak usah, Nik. Cuma empat buah pisang goreng saja, kok. Dengan teman, berkorban dua ratus tidak apa-apa, kan? Apalagi aku tahu kamu tidak sengaja," kata anak itu buru-buru mencegah Menik.
Menik jadi melongo keheranan karena anak itu ternyata mengenalnya.
"Kamu kok tahu namaku?" tanyanya bingung.
Anak itu tersenyum. "Kita kan teman satu sekolah. Cuma aku di kelas lima A, sedang kamu di kelas lima B," jawabnya.
"Oooo. Maaf, lho. Aku tidak tahu," kata Menik malu. "Jadi kamu tidak sekolah hari ini?"
"Tentu saja sekolah. Aku selalu berjualan kue setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Lumayan untuk membiayai sekolahku. Maklum saja, orang tuaku cuma tukang minyak keliling. Tidak seperti ayahmu."
"Ah," Menik jadi malu, karena seolah dituduh sombong oleh anak itu.
"Rumah kamu dimana?" tanyanya.
"Situ. Persis di belakang rumah kamu. Kalau mau ke rumahku harus melewati gang kecil yang ada di samping rumahmu itu."
"Ah, Menik jadi tidak enak hati karena ternyata dia tidak tahu kalau di belakang rumahnya ada rumah teman sekolahnya.
"Kamu sih tidak pernah keluar rumah. Kalau ke sekolah juga selalu diantar jemput dengan mobil. Jadi mana bisa kenal dengan teman-teman yang lain. Padahal di dekat rumah kamu banyak lho teman kita. Tunggu saja lima menit lagi, mereka pasti datang berbondong-bondong ke sini untuk menunggu bus. Bahkan sebagian berjalan kaki. Termasuk juga aku."
"Kamu jalan kaki ke sekolah?" tanya Menik takjub. Bayangkan, jalan kaki sejauh satu kilometer lebih! Dia disuruh jalan kaki dari rumahnya ke tempat perhentian bus ini saja sudah menggerutu sepanjang jalan. Apalagi kalau disuruh jalan kaki ke sekolah. Setiap hari pula. Dan pulang pergi. Uiihhh!!! Mana tahan!!
"Enak lho jalan kaki ramai-ramai. Banyak pemandangan yang dilihat. Bisa tukar pengalaman dengan teman-teman selama dalam perjalanan dan juga membuat badan kita sehat dan tidak malas. Wah, maaf, ya. Aku jadi kebanyakan ngomong. Padahal aku harus buru-buru pulang. Ganti pakaian lalu berangkat ke sekolah," kata anak itu lalu mulai melangkah.
"Hai, aku belum tahu nama kamu!" seru Menik cepat-cepat sebelum anak itu jauh.
"Wiwit!" jawab anak itu. Lalu dia melangkah lagi.
"Tunggu!" panggil Menik lagi. Terpaksa anak itu menghentikan langkahnya.
"Ada apa lagi?" Nanti aku kesiangan."
"Aku boleh ikut jalan kaki bersama kamu?"
Anak itu tertegun. Kemudian dia bertanya dengan nada tidak percaya. "Kamu mau jalan kaki?"
Menik mengangguk. "Boleh, kan?"
"Boleh saja. Asal kamu tidak mengeluh kecapekan saja. Tunggu aku lima menit lagi!" anak itu lalu berlari meninggalkan Menik yang mulai merasa lega karena pagi ini bisa mendapatkan pengalaman baru. Selama ini dia tahunya cuma duduk di mobil dari rumah hingga ke sekolah. Dia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya berjalan kaki ke sekolah.
Ternyata jalan kaki beramai-ramai menyenangkan sekali. Tidak seperti bila duduk di mobil. Berdiam diri saja selama dalam perjalanan. Sebab tidak ada yang akan diajak ngobrol atau bergurau. Paling-paling Pak Sopir yang bertanya, "Nanti di jemput jam berapa, Neng?"
Oh, dia tidak lagi menyesali Papa karena disuruh naik busb pagi ini. Dia malah bersyukur karena mendapatkan banyak teman hari ini. Baginya hari ini begitu ceria. Penuh senda gurau dan gelak tawa. Menik yang selama ini jarang tertawa, kini ikut-ikutan tertawa, sehingga Wiwit berkata, "Kamu cantik lho kalau sedang tertawa."
Menik jadi kaget dipuji begitu. Dia menghentikan tawanya.
"Iiiih, kamu melebih-lebihkan saja," katanya sambil mencubit tangan Wiwit dengan gemas. "Padahal yang cantik itu kamu, kan?"
"Kalau itu sih dari dulu juga aku tahu. Kalau aku tidak cantik mana mungkin jualan kueku laris. Haa ... haaa ... haaa ..." kata Wiwit tertawa lebar. Nampaknya dia tidak merasa malu sedikit pun karena harus berjualan kue. Dan teman-temannya pun tidak ada yang menganggap Wiwit lebih rendah dari mereka karena Wiwit berjualan kue. Mereka malah meledek Wiwit dengan "Wuayo! Ge-er tuh!!"
Menik merasa mendapat banyak pengalaman pagi ini. Hari yang menyenangkan baginya. Dan satu tekad mulai tertanam di hatinya. Mulai besok aku akan jalan kaki bersama mereka. Nah, selamat jalan kaki, Menik!
Sumber: Majalah Bobo, no. 51 - 1 April 1989
"Uah! Mana tahan," Menik mengeluh. Hampir saja air mata menitik di pipinya. Apa kata teman-temannya nanti bila melihat dia naik bus? Bukan cuma itu. Naik bus tentu sangat tidak menyenangkan karena harus berdesak-desakan dengan orang banyak. Belum lagi mesti menunggu lama di pemberhentian bus. Huuuh, kenapa sih Papa tidak menukar mobil mereka dengan yang baru saja agar tidak sebentar-sebentar mogok.
"Aduh!"
Menik tersadar ketika dia merasa telah menubruk sesuatu. Rupanya karena jalan sambil melamun dia tidak melihat seorang anak yang sedang menjajakan kuenya.
"Oh, maaf, ya," katanya buru-buru. Lalu dia berjongkok untuk memunguti kue-kue yang jatuh.
"Sayang kuenya sudah kotor. Biar kuganti saja. Berapa harganya?" katanya sambil merogoh tasnya.
"Tidak usah, Nik. Cuma empat buah pisang goreng saja, kok. Dengan teman, berkorban dua ratus tidak apa-apa, kan? Apalagi aku tahu kamu tidak sengaja," kata anak itu buru-buru mencegah Menik.
Menik jadi melongo keheranan karena anak itu ternyata mengenalnya.
"Kamu kok tahu namaku?" tanyanya bingung.
Anak itu tersenyum. "Kita kan teman satu sekolah. Cuma aku di kelas lima A, sedang kamu di kelas lima B," jawabnya.
"Oooo. Maaf, lho. Aku tidak tahu," kata Menik malu. "Jadi kamu tidak sekolah hari ini?"
"Tentu saja sekolah. Aku selalu berjualan kue setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Lumayan untuk membiayai sekolahku. Maklum saja, orang tuaku cuma tukang minyak keliling. Tidak seperti ayahmu."
"Ah," Menik jadi malu, karena seolah dituduh sombong oleh anak itu.
"Rumah kamu dimana?" tanyanya.
"Situ. Persis di belakang rumah kamu. Kalau mau ke rumahku harus melewati gang kecil yang ada di samping rumahmu itu."
"Ah, Menik jadi tidak enak hati karena ternyata dia tidak tahu kalau di belakang rumahnya ada rumah teman sekolahnya.
"Kamu sih tidak pernah keluar rumah. Kalau ke sekolah juga selalu diantar jemput dengan mobil. Jadi mana bisa kenal dengan teman-teman yang lain. Padahal di dekat rumah kamu banyak lho teman kita. Tunggu saja lima menit lagi, mereka pasti datang berbondong-bondong ke sini untuk menunggu bus. Bahkan sebagian berjalan kaki. Termasuk juga aku."
"Kamu jalan kaki ke sekolah?" tanya Menik takjub. Bayangkan, jalan kaki sejauh satu kilometer lebih! Dia disuruh jalan kaki dari rumahnya ke tempat perhentian bus ini saja sudah menggerutu sepanjang jalan. Apalagi kalau disuruh jalan kaki ke sekolah. Setiap hari pula. Dan pulang pergi. Uiihhh!!! Mana tahan!!
"Enak lho jalan kaki ramai-ramai. Banyak pemandangan yang dilihat. Bisa tukar pengalaman dengan teman-teman selama dalam perjalanan dan juga membuat badan kita sehat dan tidak malas. Wah, maaf, ya. Aku jadi kebanyakan ngomong. Padahal aku harus buru-buru pulang. Ganti pakaian lalu berangkat ke sekolah," kata anak itu lalu mulai melangkah.
"Hai, aku belum tahu nama kamu!" seru Menik cepat-cepat sebelum anak itu jauh.
"Wiwit!" jawab anak itu. Lalu dia melangkah lagi.
"Tunggu!" panggil Menik lagi. Terpaksa anak itu menghentikan langkahnya.
"Ada apa lagi?" Nanti aku kesiangan."
"Aku boleh ikut jalan kaki bersama kamu?"
Anak itu tertegun. Kemudian dia bertanya dengan nada tidak percaya. "Kamu mau jalan kaki?"
Menik mengangguk. "Boleh, kan?"
"Boleh saja. Asal kamu tidak mengeluh kecapekan saja. Tunggu aku lima menit lagi!" anak itu lalu berlari meninggalkan Menik yang mulai merasa lega karena pagi ini bisa mendapatkan pengalaman baru. Selama ini dia tahunya cuma duduk di mobil dari rumah hingga ke sekolah. Dia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya berjalan kaki ke sekolah.
Ternyata jalan kaki beramai-ramai menyenangkan sekali. Tidak seperti bila duduk di mobil. Berdiam diri saja selama dalam perjalanan. Sebab tidak ada yang akan diajak ngobrol atau bergurau. Paling-paling Pak Sopir yang bertanya, "Nanti di jemput jam berapa, Neng?"
Oh, dia tidak lagi menyesali Papa karena disuruh naik busb pagi ini. Dia malah bersyukur karena mendapatkan banyak teman hari ini. Baginya hari ini begitu ceria. Penuh senda gurau dan gelak tawa. Menik yang selama ini jarang tertawa, kini ikut-ikutan tertawa, sehingga Wiwit berkata, "Kamu cantik lho kalau sedang tertawa."
Menik jadi kaget dipuji begitu. Dia menghentikan tawanya.
"Iiiih, kamu melebih-lebihkan saja," katanya sambil mencubit tangan Wiwit dengan gemas. "Padahal yang cantik itu kamu, kan?"
"Kalau itu sih dari dulu juga aku tahu. Kalau aku tidak cantik mana mungkin jualan kueku laris. Haa ... haaa ... haaa ..." kata Wiwit tertawa lebar. Nampaknya dia tidak merasa malu sedikit pun karena harus berjualan kue. Dan teman-temannya pun tidak ada yang menganggap Wiwit lebih rendah dari mereka karena Wiwit berjualan kue. Mereka malah meledek Wiwit dengan "Wuayo! Ge-er tuh!!"
Menik merasa mendapat banyak pengalaman pagi ini. Hari yang menyenangkan baginya. Dan satu tekad mulai tertanam di hatinya. Mulai besok aku akan jalan kaki bersama mereka. Nah, selamat jalan kaki, Menik!
Sumber: Majalah Bobo, no. 51 - 1 April 1989