Kamis, 24 November 2011

PERMATA AJAIB

Sejak zaman kuno, Korea terkenal tidak hanya sebagai penghasil permadani yang indah, tapi juga mempunyai kebudayaan timur yang tinggi. Orang-orang Korea juga terkenal sangat ramah, dan kehidupan keluarganya pun selalu nampak harmonis, rukun dan akrab satu sama lain. Mereka pun rajin dan teliti. Cerita rakyat ini adalah salah satu bukti, rakyat Korea mempunyai kebudayaan timur yang tinggi.


DI SUATU DESA di pegunungan bagian barat Korea, hidup dua orang kakak beradik bersama ibu mereka yang sudah tua. Ibu itu sudah menjanda. Hidupnya amatlah miskin. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja berat. Tanggungan keluarga kini menjadi beban kedua anaknya yang masih muda. Mereka bekerja pada seorang kaya di seberang desa. Pekerjaan mereka membelah kayu bakar, memasak air dan membuat perapian.


Suatu hari ketika mereka sedang bekerja, berkatalah si adik kepada kakaknya.


"Kak, ambillah air ke sungai,  biar aku yang membelah kayu."


"Biarlah kita kerjakan bersama-sama, setelah selesai baru kita mengambil air ke sungai," jawab kakaknya.


Mereka pun berjalan ke sungai untuk mengambil air dengan bejana. Tapi karena lapar dan lelah, mereka terpeleset dan jatuh, hingga pecahlah bejana yang penuh dengan air itu. Oleh orang kaya itu mereka tidak dimarahi, tapi diusir dan tak boleh lagi bekerja. Mereka pun pulang tanpa membawa makanan seperti yang selalu mereka bawa, setelah bekerja seharian penuh pada orang kaya itu.


Dalam perjalanan pulang, mereka saling berpegangan tangan melintasi jembatan gantung yang panjang. Tetapi baru sampai di tengah jembatan, mereka berhenti karena melihat sesuatu yang indah di dasar sungai yang airnya jernih itu.


Ketika benda itu mereka ambil, terkejutlah mereka, sebab benda itu ternyata sebuah permata! Mereka menyimpan permata itu di dalam saku dan kemudian pulang.


Sesampai di rumah, mereka menceritakan semuanya kepada ibu mereka. Si ibu menyuruh untuk menyimpan permata itu.


Tapi berkatalah anaknya yang pertama, "Bu, di mana kita harus menyimpan permata ini, sedangkan kita tidak mempunyai kotak untuk menyimpannya."


Mereka berpikir mencari kotak untuk menyimpan permata itu. Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menyimpan permata itu di dalam kotak beras mereka yang sudah kosong. Kemudian mereka terlelap tidur.


Pagi-pagi benar, sebelum mereka mencari kerja, kedua kakak beradik itu membuka kotak beras hendak melihat permata. Tapi alangkah terkejutnya mereka.


"Dik, lihatlah, kotak beras kita penuh dengan beras," kata si Kakak.


"Dan permata itu bersinar-sinar di atasnya," teriak adiknya kegirangan.


"Dik, bagaimana kalau kita persiapkan makan pagi kita dengan beras ini," usul kakaknya.


"Baiklah, Kak!" jawab adiknya menyetujui.


Mereka pun siap untuk sarapan pagi bersama ibu mereka. Ketika akan makan berkatalah si ibu kepada mereka, "Anak-anakku, sebelum kita makan, sebaiknya mengucaplah syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dan jangan lupa bagikanlah beras itu kepada para tetangga kita yang miskin."


Mereka kemudian membagi-bagikan beras itu kepada para tetangga. Dan kotak beras itu selalu penuh kembali setiap mereka mengambil beras.


Sampai suatu ketika kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa dan mempunyai pekerjaan yang tetap.


Kakak yang lebih tua telah pula menikah. Kedua kakak beradik itu sepakat untuk hidup terpisah. Mereka bermaksud membagi harta mereka termasuk permata itu.


Maka berkatalah kakak yang lebih tua kepada adiknya, "Dik, permata ini tidak dapat dibagi, maka ambil sajalah untukmu. Kamu boleh pergi untuk menikah dan hidup dengan keluargamu."


"Tidak, ini untuk Kakak! Kakaklah yang pertama kali melihatnya dan membawa pulang permata itu" jawab adiknya.


Mereka ingin membagi permata itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya mereka sepakat mengembalikan permata itu ketempat sediakala, agar ditemukan orang lain yang miskin seperti mereka dulu.


Mereka pun pergi ke jembatan gantung itu dan melempar permata itu ke sungai. Tapi alangkah terkejut mereka, karena ternyata terdapat lagi dua permata di dasar sungai itu. Dan kedua kakak beradik itu mengambil masing-masing satu permata.


Kini mereka hidup dengan keluarganya masing-masing dalam keadaan bahagia dan kecukupan. Sampai sekarang walaupun sudah berilmu tinggi, pandai, dan sudah berkecukupan, orang Korea masih tetap rajin belajar dan bekerja.


Sumber: Majalah Bobo, No.50 - 19 Maret 1988

Sabtu, 12 November 2011

TERLALU MENGHARAP PERTOLONGAN

LEGA hati Rani ketika ia keluar dari dalam bis yang pengab itu. Kini ia dapat bernapas dengan lega. Di hirupnya udara sepuas-puasnya ke dalam paru-parunya. Lalu di hembuskannya kembali keluar melalui lubang hidungnya.


Dipandanginya kedua tas bawaannya yang menggeletak dekat kakinya. Satu tas penuh berisi baju-bajunya. Satu tas lagi penuh berisi oleh-oleh buat Nenek.


"Uuh, berat juga," gumam Rani sambil mengangkat tas berisi baju. Disandangnya tas itu dipundaknya. Lalu tas yang satunya lagi dibawanya dengan tangan kiri.


Selangkah demi selangkah Rani memulai perjalanannya ke rumah Nenek. Rumah Nenek masih jauh. Rani harus menempuh perjalanan sekitar 4 kilometer. Padahal di tempat itu tidak ada becak ataupun sado. Rani harus menempuh jarak sejauh itu dengan menggunakan kedua kakinya.


Baru beberapa ratus meter melangkah, Rani sudah berhenti. Kedua tas yang dibawanya memang cukup berat. Sambil mengusap peluhnya Rani menoleh ke kanan dan kekiri. Namun, jalan menuju desa Nenek tetap lengang.


"Sepi. Kok tidak ada orang pulang dari pasar," gumam Rani. "Baiklah aku akan pelan-pelan. Barangkali sebentar lagi ada orang sedesa Nenek pulang dari pasar."


Bagi gadis sekecil Rani kedua tas itu cukup berat. Terutama tas yang berisi oleh-oleh. Entah oleh-oleh apa yang dititipkan ibu. Oleh-oleh yang dibawa ke desa memang selalu banyak. Oleh-oleh itu akan dibagi-bagikan pada saudara-saudara Rani. Hampir seluruh saudara dari pihak ibu tinggal di desa itu.


Terik matahari mulai terasa menyengat. Peluh seakan membanjir dari tubuh Rani yang kecil itu. Sambil menggigit bibir menahan tangis Rani terus melangkah. Rasa capai, haus, lapar dan kesal campur aduk menjadi satu. Rani seakan ingin menjerit menumpahkan rasa kesalnya.


Hari semakin siang. Rani terus menapak di jalanan desa yang berdebu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk sekedar menarik napas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah lautan padi. Sesekali angin kering bertiup mengusap wajahnya.


"Oh, ah, capai.... capai..." keluhnya sambil melemparkan begitu saja kedua tas bawaannya. Rani lalu duduk di rerumputan tepi jalan. Ia sama sekali tidak mengindahkan debu yang mengotori bajunya. Rani sangat kecapaian. Padahal rumah Nenek masih jauh. Tak terasa air matanya mulai menetes.


Sebetulnya Rani tak akan menderita seperti itu, kalau saja ia mau bersabar. Rano kakaknya yang duduk di kelas enam juga akan ke desa. Namun sebelum pergi Rano harus membantu Ayah membetulkan pompa air. Paling tidak dibutuhkan waktu dua hari untuk membongkar pompa air. Rani tidak sabar kalau harus menunggu selama itu. Ia sudah sangat rindu pada Nenek. Karena itu ia mengambil keputusan, akan berangkat ke desa seorang diri.


"Kamu berani?" tanya Rano waktu itu.
"Mengapa tidak?" jawab Rani. "Kalau di jalan ada yang menggangguku. Ciatt ..." Rani memperagakan beberapa jurus silat. Dan ... berrr ... Rani meloncat ke arah kakaknya sambil melancarkan tendangan. Rano menangkis lalu balas memukul. Kalau saja ibu tidak datang melerai, keduanya pasti sudah berantem.


"Kalau begitu tinggalkan oleh-oleh itu," kata Rano akhirnya. "Biarlah oleh-oleh itu aku yang membawa."


"Tidak! sahut Rani bersikeras. "Datang ke desa tanpa oleh-oleh tidak lucu!"


"Jadi, oleh-oleh seberat itu akan kaubawa?"
"Ya!" sahut Rani ketus.


"Baiklah, Tuan Putri. Silahkan berangkat ke desa untuk menjumpai nenek tercinta," Rano membungkuk lalu tangannya melambai menirukan adegan drama di teve.


"Huh!" Rani hanya mencibir. Rano terbahak.


Kini ditengah sawah Rani menyesal, karena telah berangkat sendiri. Tapi penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kini ia harus berjuang seorang diri melawan rasa capek, haus dan lapar. Ia harus berhasil. Ya, berhasil mencapai rumah Nenek!


"Haiit!  Ciaat!" Ciaat!" Rani serentak melompat lalu melancarkan empat kali pukulan ke udara. Dengan napas terengah-engah diraupnya kedua tas bawaannya. Lalu dengan langkah ditegap-tegapkan Rani berangkat.


"Raniii!" jerit Nenek menangisi kedatangan cucunya, diusapnya peluh yang membasahi wajah dan tubuh Rani. "Kamu dengan siapa? Sendirian dengan tas seberat ini. Oh, minum! Minum dahulu, cucuku." Nenek bergegas mengambil air kendi yang dingin itu lalu membasahi kerongkongan Rani.


Paman, Bibi, dan seluruh saudara Rani di desa segera berkumpul. Di antara bibinya ada yang menangis. Mereka mengira Rani pergi ke desa tanpa izin kedua orang tuanya.


"Rani tak apa-apa, Nek, Bibi," kata Rani setelah hilang segenap rasa lelahnya.


"Dalam suratmu kamu bilang akan datang sekitar tanggal lima belas," kata Nenek.


"Ulangan catur wulan kali ini diajukan sepuluh hari, Nek. Seminggu kemudian terima rapor. Lalu Rani langsung kemari."


"Tapi mengapa harus dengan membawa tas seberat itu," sela Bibi dengan nada penuh sesal.


"Begini, Bi," sahut Rani sambil tersenyum. "Menurut perkiraan Rani pasti banyak tetangga Nenek yang pergi ke pasar. Nah, masa tidak ada orang yang mau membantu membawakan tas ini."


"Perkiraanmu salah, Cu!" Nenek terkekeh. "Hari pasar kan jatuh dua hari lagi. Tentu saja tak ada orang pergi ke pasar. Lagi pula sekarang sedang musim orang menyiangi rumput dan menyebar pupuk. Oh, Cu! Kasihan benar nasibmu."


"Hitung-hitung sebagai penambah latihan ilmu silatmu," Paman ikut menyambung. "Kata ayahmu, kau semakin rajin latihan silat. Bagus!"


Hati Rani menggunung menerima pujian Paman. Secara tidak langsung semangat ilmu silatnyalah yang turut membantu. Dengan semangat itu ia berhasil membawa beban berat ke rumah Nenek. Hatinya puas, walaupun harus ditebus dengan pundak dan tangan yang lecet. Lecet akibat kedua tali tas bawaannya.


Sumber: Majalah Bobo, no.50 - 19 Maret 1988

Rabu, 09 November 2011

KALAU IBU MARAH TANDANYA SAYANG

Pagi itu aku bermain sendirian. Sepi dan membosankan! Kiky, boneka besar pemberian ibuku, kubiarkan tergeletak jauh di hadapanku.


AKU iri melihat Ani, kakakku, yang sedang berteriak ramai bersama Ira, Lia, Tia, dan anak lainnya. Mereka main loncat tinggi. Permainan yang paling kusukai. Karena di antara teman-temanku akulah yang paling jago. Setinggi apapun karet yang direntangkan aku selalu berhasil melampaui. Maksudku tentu saja setinggi ukuran anak-anak seusiaku. Kemarin pun aku berhasil melampaui rentangan karet yang sama tingginya dengan tinggi ibuku. Setelah kulampaui aku baru tahu bahwa Tia yang mendapat giliran memegang karet berdiri di ujung jari kakinya sehingga tingginya bertambah beberapa senti. Anak-anak lain meneriaki Tia yang bermain curang. Mungkin karena kesal dan bosan memegangi karet terus, maka Tia mencoba berbuat curang agar aku segera kalah. Sampai permainan selesai aku tidak juga mendapat giliran memegang karet. Enak saja aku memandangi anak-anak yang menggerutu karena tidak bisa melampaui ketinggian karet yang direntangkan.


Tetapi sekarang aku enggan untuk ikut bermain dengan mereka. Soalnya sekarang aku lagi ngambek.


Terdengar teriakan Ira yang ditujukan pada kakakku. Aku tersenyum. Rupanya kali ini juga kakakku tak bisa melampaui. Tentu sekarang Ira tertawa kesenangan karena kini gilirannya untuk berlompat-lompatan.


Aku mencoba melongokkan kepala melihat anak-anak itu. Tetapi, uff... dari jauh aku melihat Ibu menjinjing keranjang yang berisi penuh barang belanjaan. Kupeluk bonekaku lalu menyelinap masuk sebelum Ibu melihatku.


Terdengar langkah kaki masuk. Kemudian suara benda yang diletakkan di atas meja.


"Bu, kue lapis pesananku," Ani tiba-tiba masuk. Aku kaget. Baru kuingat bahwa tiap hari Minggu Ibu selalu membeli kue lapis kegemaranku.


"Nih, satu untuk Ani, satu lagi untuk Ati," ujar Ibu. "Mana Ati?" Mungkin Ibu heran tidak melihat kehadiranku. Aku ragu-ragu mendengar panggilan Ibu. Hari ini, kan aku sedang ngambek pada Ibu.


"Nggak tahu!" kudengar kakakku menjawab. Suaranya tidak begitu jelas. Mulutnya pasti penuh kue lapis itu.


Perlahan aku keluar sambil memegangi Kiky erat-erat. Sebetulnya aku masih ngambek pada Ibu. Karena kemarin Ibu memarahiku. Gara-gara telur yang kujatuhkan. Padahal nggak sengaja. Sungguh! Tetapi kalau aku tidak keluar pasti Ibu memberikan kue bagianku pada kakakku. Maka dengan muka cemberut kuhampiri Ibu.


Ibu menoleh, "Ini, untukmu," Ibu menyodorkan kue. Masih dengan muka cemberut aku menerima kue itu.


"Kalau mulutnya cemberut, kuenya masuk lewat mana?" Kakakku geli melihat kejudesanku, Ibu tertawa. Aku mendelik. Huh, sebal! Rasanya ingin kulempar kue itu. Tetapi sayang, kue itu kan enak. Cepat aku keluar. Aku berniat menghabiskan kue itu di beranda.


"Ibu mau masak apa?" Sayup-sayup suara Ani terdengar. "Ibu mau membuat kue," jawab Ibu, "Ibu tadi sudah beli telur lagi." Lalu terdengar suara pembungkus makanan yang dirobek.


Sambil memakan kue aku berpikir. Pantas ibu menyayangkan telur-telur yang kujatuhkan. Rupanya telur itu untuk membuat kue, agar kami tidak jajan di luar.


Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam hatiku. Aku ingin membantu Ibu membuat kue-kue itu. Tetapi aku merasa malu karena seharian ini aku tidak bersikap ramah pada Ibu.


Kututup pintu depan perlahan sekali. Ragu-ragu aku menghampiri tempat Ibu berada.


"Ini untuk sayur lodeh," suara Ibu makin dekat terdengar.


"Daun melinjo, kelapa, wuluh. Lho, ini apa, Bu?" Ani menata belanjaan yang dikeluarkan.


"Namanya laos," jawab Ibu, "Nah, sekarang bantu Ibu membuat sayur ini."


"Kelapa diparut," ujar Ani. Aku tersenyum mendengar ocehan kakakku. Kalau ibu membuat sayur lodeh, aku yang selalu mendapat bagian memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Jari-jariku tak pernah lagi ikut terparut.


"Hm, persediaan bawang gorengnya habis," ujar Ibu, "Ti, Ati, bantu Ibu."


Perlahan aku muncul di pintu dapur. Kesempatan yang baik. Ibu membutuhkan bantuanku.


"Beli bawang merah sana. Ini uangnya."


Kuterima uang dari tangan Ibu lalu berlari keluar.


"Kalau ibu memarahi kamu, itu tandanya sayang," terngiang-ngiang suara kakakku kemarin waktu Ibu selesai memarahiku. Kupikir kakakku berpihak pada Ibu, karenanya aku juga ikut sebal padanya. Sebagai protes aku melepas kepangan di rambutku. Biar ibu tahu bahwa hasil kepangan Ibu jelek.


Tanpa sadar aku merasa rambutku. Di situ tidak ada kepangan. Karena kemarin aku melepasnya.


Tiba-tiba aku merasa rindu dikepang oleh Ibu.


Sepulang dari warung Bik Irah aku berdoa, mudah-mudahan Ibu mau mengepang rambutku nanti sore seperti biasanya.


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

Sabtu, 05 November 2011

GARA-GARA SAKIT GIGI

Dokter Rosarito sedang menaikkan tirai jendela ruang prakteknya, ketika tiba-tiba ada seorang pria membuka pintu dengan kasar. Pria bertubuh tinggi besar dengan wajah brewok, berdiri di ambang pintu. Lelaki itu ternyata seorang penjahat paling berbahaya di kota Roma.


SAYA ingin berobat, Dok. Gigi saya sakit sekali! Sekarang juga Dokter harus merawat gigi saya. Saya akan membayar tinggi untuk Anda," kata pria itu sambil memegang salah satu pipinya yang bengkak. Sesaat sang Dokter memperhatikan wajah pria di hadapannya, kemudian katanya, "Maaf, tetapi Anda harus menunggu ...."


"Jangan biarkan saya menunggu, Dokter!" katanya cepat. Salah satu tangannya merogoh saku jas. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sepucuk pistol. "Saya tak ingin membuat kesulitan pada Anda," katanya dengan sorot mata tajam. "Tetapi jika terpaksa ..."


"Anda akan membunuhku? Seperti yang Anda lakukan terhadap dokter penjara, Saudara Camulpo?" sahut Dokter Wanita itu.


Pria itu nampak terkejut.


"Jadi Anda telah mengenalku, Dokter?"


"Ya. Wajah Anda terpampang di halaman surat kabar di kota ini. Dan Anda melarikan setelah membunuh dokter penjara," kata sang Dokter berusaha tetap tenang.


"Baiklah, itu memang benar," kata Camulpo kemudian. "Kupikir ada baiknya Anda mengetahui siapa diriku ini. Sekarang, bersiaplah untuk mencabut gigiku. Aduh ... Aduh ..."


Dokter Rosarito berdiri tanpa melakukan sesuatu yang diminta penjahat itu. Sebenarnya ia merasa iba melihatnya. Tetapi, bila ia mengingat, bahwa orang yang dihadapannya itu penjahat yang berbahaya bagi penduduk kota Roma, maka ia memendam perasaan itu.


"Mengapa Anda hanya berdiri saja?" bentak Camulpo. "Cepat kerjakan perintahku!" Pistolnya ditodongkan ke arah dada sang Dokter.


Sang Dokter hanya tersenyum, kemudian mulai menyiapkan peralatan prakteknya. Sementara Camulpo mengikuti gerak-gerik sang Dokter dengan ujung laras pistolnya.


"Silakan Anda duduk disini," kata sang Dokter sambil memegang jarum suntik. "Anda akan saya suntik dahulu, agar sakit giginya hilang. Kemudian saya akan mencabut gigi Anda."


Dengan patuh Camulpo menuruti perintah Dokter Rosarito. Namun, pistolnya tetap ditujukan ke dada sang Dokter. Sementara sakit giginya sudah mulai hilang. Ya, Camulpo merasa giginya sudah tak sakit lagi.


"Nah, sekarang berbaringlah di sana," kata sang Dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur kecil, yang terletak di ruangan dalam. "Saya akan mempersiapkan alat-alat untuk mencabut gigi Anda."


Camulpo tersenyum senang, ketika melihat tempat tidur kecil itu. Nampaknya sangat nyaman, bila ditiduri. Selama sekian tahun Camulpo mendekam di penjara, tak pernah ia melihat tempat tidur yang begitu bersih, rapi dan empuk. Dan tentu saja ia tak menolak membaringkan tubuhnya di sana.


"Saya sudah siap, Dok," katanya sambil tersenyum senang. Pistolnya kemudian dimasukkan kedalam saku jas. Dokter Rosarito telah siap dengan alat pencabut gigi.


"Tetapi agak sedikit sakit," kata sang Dokter. "Karena itu Anda akan saya ikat, agar saya bisa bekerja dengan baik."


Mendengar ucapan sang Dokter, Camulpo menjadi berang kembali.


"Apa? katanya. "Jangan coba-coba menipuku, Dokter! Saya tahu Anda akan menyerahkan diri saya, jika saya sudah terikat. Cepat! Kerjakan tugas Anda! 
Saya tak akan berontak, hanya karena gigi saya dicabut. Mengerti!" kemudian Camulpo membaringkan diri kembali. "Ayo, cepat cabut gigi saya!"


Dan ia rupanya tak merasa sakit, ketika giginya sungguh-sungguh dicabut. Bahkan ia tetap berbaring tenang, hingga akhirnya tertidur. Dengan tenang, tanpa terburu-buru Dokter Rosarito membereskan peralatan prakteknya. Kemudian ia mengangkat telepon, yang terletak di atas meja kerjanya.


"Halo, di sini Dokter Rosarito. Harap segera datang kemari dengan ... Apa? Tidak usah banyak-banyak! Cukup satu atau dua orang saja. Ia sama sekali tidak berbahaya. Ya, ia sedang tidur nyenyak dan mungkin sedang bermimpi. Ia sudah kubius tadi. Terima kasih."


Beberapa saat kemudian, terdengar sirene mobil polisi datang. Dua perwira polisi muncul di ambang pintu. Mereka memperkenalkan diri sebagai petugas yang dikirim untuk menangkap buronan berbahaya itu. Dan mereka membawa Camulpo tanpa perlawanan sedikit pun. Sementara Dokter Rosarito memperhatikan mereka dengan perasaan lega. Tapi ia begitu ketakutan menghadapi Camulpo. Namun, ia berusaha tenang, hingga menemukan cara yang membuat si penjahat tak berdaya. Ya, seorang dokter pun bisa menangkap seorang penjahat tak berdaya. Ya, seorang dokter pun bisa menangkap seorang penjahat berbahaya dengan cara yang cukup sederhana.


Source: Majalah Bobo no. 50 - 19 Maret 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting