Kamis, 20 Oktober 2011

MEREKA MAU MEMAAFKAN

SEDIH sekali rasanya bila tidak punya teman. Hal seperti ini yang sedang dirasakan oleh Doni saat ini.


Di depan rumahnya, Doni sedang memperhatikan teman-temannya yang asyik bermain. Di halaman rumah Iwan sekelompok anak sedang bermain kelereng. Sesekali terdengar teriakan dan tawa mereka. Apalagi teriakan yang keluar dari mulut Agil. Anak ini memang periang sekali. Kalau bermain suka sekali melucu. Ini yang membuat teman-temannya senang padanya. Rasanya kalau tidak ada Agil permainan apapun jadi tidak seru.


Selain Agil dan Iwan, tampak juga Madi, Dian, Joko dan Arief.


Jarak antara rumah Doni dan rumah Iwan tidak terlalu jauh. Jarak yang berdekatan ini, membuat Doni dapat melihat dengan jelas kesibukan teman-temannya.


Doni menghela napas panjang. Ingin sekali ia ikut bermain bersama teman-temannya itu. Tetapi ia malu, karena kemarin baru saja ia berkelahi dengan Arief.


Waktu itu mereka sedang main kelereng. Arief menang. Tidak seperti biasanya, kali ini Doni kalah. Sejak kekalahan pertama, permainan Doni semakin kacau. Dengan gaya yang kocak Agil berkata, "Wah Arief hebat, nih. Yahut! Sekarang sih Doni nggak ada apa-apanya." Anak-anak yang lain tertawa.


Doni merasa semua mengolok-ngolok dirinya. Dengan cepat kemarahan Doni terpancing.


Suatu saat, ketika Arief mendapat giliran membidik, Doni dengan sengaja menahan kelereng Arief dengan kakinya. Tentu saja kelereng Arief tidak dapat mengenai sasarannya. Terjadilah pertengkaran kecil yang diakhiri dengan perkelahian. Doni pula yang memulai perkelahian itu. Anak-anak yang lain berusaha melerai.


"Kamu kok pemarah sekali sih, Don," kata Iwan.


"Jangan begitu dong Don, ini kan hanya permainan saja. Menang atau kalah sama saja. Kita kan sama-sama kawan," kata Dian menyatakan ketidaksenangan teman-temannya pada Doni.


Doni dalam tiap permainan memang dikenal selalu mau menang sendiri. Kini ia berdiri sendirian di pagar halaman rumahnya. Matanya menatap kosong ke depan. Ditahannya sekali lagi keinginannya untuk ikut bergabung bersama teman-temannya. Selain malu, ia juga takut kalau-kalau nanti teman-temannya akan mengusirnya bila ia datang.


Kini Doni menyadari kekeliruannya. Ia tahu kini bahwa ia tidak bisa bermain sendiri. Ia sadar bahwa ia membutuhkan teman-temannya.


Ia tahu juga, bahwa sifatnya yang pemarah dan selalu mau menang sendiri sangat merugikan dirinya sendiri.


"Hei Don. Sedang apa kau?" tanya Iwan tiba-tiba.


"Jangan suka melamun, nanti cepat tua," kata Agil. Semua anak tertawa.


Doni seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Di hadapannya sudah lengkap teman-temannya yang tadi sedang bermain kelereng.


Arief maju ke depan, lalu mengulurkan tangannya.


"Maafkan aku, Doni. Kita lupakan saja peristiwa kemarin."


"Seharusnya akulah yang minta maaf pada kalian. Terutama padamu Arief," jawab Doni menahan keharuan.


"Untuk persahabatan kita semua, ayo kita ke lapangan. Kita rayakan dengan main bola sama-sama," kata Joko bersemangat. Di tangannya sudah ada sebuah bola kaki. Yang lain mengikutinya berjalan menuju lapangan.


Agil menarik tangan Doni. Seperti robot, Doni mengikuti teman-temannya.


Hati Doni terenyuh. Tak disangka teman-temannya begitu baik padanya. Tidak ada rasa dendam sedikitpun. Ia kemudian memarahi dirinya sendiri yang tadi tidak berani datang meminta maaf terlebih dahulu. Saat itu pula, Doni berjanji akan menjadi teman yang baik bagi siapa saja.


Sumber: Majalah Bobo no.42 - 28 Januari 1989

Sabtu, 15 Oktober 2011

KETUA KELAS

Ulis dan Titi berjalan menyusuri sisi jalan. Hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah kembali setelah liburan panjang. Itulah yang membuat mereka berangkat agak pagi, biar cepat tiba di sekolah.


MENYENANGKAN sekali akhirnya kita bisa berkumpul lagi dengan teman-teman," gumam Ulis.


"Tentu saja. Dan semoga di kelas lima ini suasananya akan bertambah menyenangkan. Kelas baru, wali kelas baru, dan ketua kelas baru," timpal Titi seraya tersenyum.


"Ketua kelas baru? Ah, aku lebih senang kalau Joko tetap menjadi ketua kelas. Waktu kelas empat kan dia menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas dengan baik," sergah Ulis. "Ti, apakah kamu berminat mencalonkan diri menjadi ketua kelas?"


Titi tertawa kecil mendengar pertanyaan sahabatnya. "Tidak. Masih banyak teman kita yang lebih baik dari aku. Asal tidak Windya saja yang menjadi ketua kelas," jawab Titi kemudian.


"Aku akan memilihnya kalau saja ia bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Kebiasaan yang ingin menang sendiri dan sombong itu ...."


Ucapan ulis terputus karena tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih berhenti mendadak di dekat mereka. Seraut wajah muncul dari jendela pintu mobil. Itu wajah Windya yang baru saja mereka bicarakan.


"Hei, kalian, ikut mobilku saja!" ajak Windya.


Ulis dan Titi saling berpandangan, agak ragu. Ini tidak biasanya Windya berbuat begitu. Dulu-dulu Windya selalu meluncur begitu saja dengan mobil antar jemputnya tanpa mau mengajak siapa pun.


"Nanti kesiangan," kata Windya lagi.


Mau tidak mau akhirnya Ulis dan Titi mau menerima ajakan Windya. Apalagi Windya sudah membuka pintu belakan mobil.


"Kemana saja kalian liburan?" tanya Windya membuka percakapan di dalam mobil.


"Aku liburan di rumah nenekku di Yogya," jawab Titi.


"Kalau aku ke rumah uakku di Cililin dekat Waduk Saguling," giliran Ulis yang menjawab.  "Kamu sendiri pergi ke mana?"


"Ah, aku diajak jalan-jalan ke Danau Toba oleh Omku yang ada di Medan. Nanti di sekolah saja kuceritakan, bagaimana pengalamanku di sana."


Ulis manggut-manggut. Sementara itu Titi masih bingung dengan perubahan sikap Windya.


"Jangan-jangan ada sesuatu yang direncanakan Windya," pikir Titi. Ah, tapi tidak baik berprasangka buruk. Siapa tahu Windya memang sudah berubah setelah liburan panjang.


"Kalian sudah siap dengan pemilihan ketua kelas nanti?" Windya melontarkan pertanyaan lain.


"Kami berdua cuma akan memilih saja."


"Bagaimana pendapat kalian kalau aku mencalonkan diri?" tanya Windya, membuat Ulis dan Titi terkejut.


"Siapa saja berhak mengajukan diri untuk jadi ketua kelas. Cuma hasilnya tunggu saja setelah pemilihan," Ulis menjawab mewakili Titi.


Windya tersenyum kecil. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Dua bungkus coklat yang diambilnya segera disodorkan kepada Ulis dan Titi.


"Kalian tentunya mau memilihku, bukan?" ucap Windya kemudian.


Ulis dan Titi tidak menjawab. Mereka memasukkan coklat pemberian Windya ke dalam tas. Mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di pintu gerbang sekolah. Itu berarti mereka harus bergegas turun.


Suasana di kelas baru mereka ternyata sudah ramai. Pagi itu mereka sengaja datang lebih pagi agar dapat mencari tempat duduk seperti apa yang mereka inginkan letaknya. Ulis dan Titi mendapat tempat di bagian tengah. Mereka memang selalu sebangku. Setelah meletakkan tas segera saja mereka bertegur sapa dengan teman-teman yang lain.


"Lihat Windya, dia mau menegur ramah siapa pun!" tunjuk Ulis.


"Biarkan saja. Seharusnya kita bersyukur."


"Dia juga memberikan coklat seperti yang dilakukannya kepada kita. Ah, kurasa dia juga meminta teman-teman kita agar memilihnya menjadi ketua kelas," ujar Ulis cemas.


"Tenang saja. Teman-teman kita tak akan terpengaruh oleh sebungkus coklat. Butuh waktu panjang buat Windya untuk meyakinkan teman-teman kita kalau ia pantas menjadi ketua kelas. Soalnya semua kan tahu bagaimana sifat Windya," hibur Titi.


Bersamaan dengan itu terdengar bunyi bel masuk. Semua sisa kelas lima masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian masuk Bu Purwanti, guru Bahasa Indonesia. Dialah yang akan menjadi wali kelas di kelas lima.


Setelah sebentar bercakap-cakap, akhirnya Bu Purwanti memutuskan untuk segera diadakan acara pemilihan ketua kelas. Langsung saja kelas menjadi gaduh. Tiga calon segera diputuskan, Mereka adalah Joko, Andi, dan Windya. Ketiga calon itu terlebih dahulu diminta untuk berbicara di depan kelas sebentar.


"Saya harap teman-teman mau memilih siapa yang paling pantas menjadi ketua kelas," demikian Andi berkata, ia mendapat giliran pertama.


"Sudah dua kali saya menjadi ketua kelas. Dan jika saya terpilih lagi, maka saya akan berusaha lebih baik dari sebelumnya," ucap Joko yang mendapat giliran kedua. Semua bertepuk tangan mendengar kata-kata Joko.


"Seandainya saya terpilih jadi ketua kelas, maka saya akan memimpin kelas ini dengan baik. Kelas ini akan paling menonjol di antara kelas-kelas yang lain," ucap Windya diiringi seruan-seruan gaduh teman-temannya.


Pemilihan pun segera dilakukan. Satu persatu seluruh isi kelas lima memberikan suara mereka untuk memilih siapa dari ketiga calon itu yang berhak menjadi ketua kelas. Hasilnya Joko mengumpulkan suara terbanyak, disusul oleh Andi. Terakhir Windya yang tidak mendapat satu suara pun.


Karuan wajah Windya menjadi pucat. Padahal di rumah tadi ia sudah membayangkan dirinya menjadi ketua kelas. Pikirnya, teman-temannya akan memberikan suara untuknya. Bukankah Windya tadi sudah memberi masing-masing temannya sebungkus coklat?


"Lihat sendiri, Ulis, teman-teman kita sudah tahu kok siapa yang terbaik dan pantas dipilih menjadi ketua kelas," bisik Titi kepada sahabatnya.


Mereka sama-sama tersenyum.


Sumber: Majalah Bobo, no.19 Tahun XVII - 19 Agustus 1989

Kamis, 06 Oktober 2011

PENCURI ITU

Petang selalu indah. Bumi terasa sejuk dan angin bertiup terus-menerus, menyapu rerumputan serta jalanan dan mempermainkan dedaunan. Sinar yang menembus jendela tampak kuning redup, jatuh di dinding dan lantai berbentuk garis-garis, membentuk garis-garis, membentuk bayangan.


JALANAN agak sepi. Biasanya petang ini truk Pak Ampul merangkak pulang dengan derumnya yang kecapaian. Dan biasanya aku suka berlari ke pagar, melambaikan tangan kepada sopir yang berwajah berewokan, letih tapi jenaka.


Pak Ampul hidup hanya berdua dengan istrinya. Mereka tak punya anak. Mungkin karena itu mereka amat sayang kepadaku. Apabila aku bermain ke rumah mereka, Bu Ampul suka menceritakan dongeng yang bagus-bagus. Aku sendiri anak tunggal.


Petang ini sudah bertambah larut, tetapi Pak Ampul belum juga kelihatan. Mama sudah lima kali mondar-mandir dan setiap kali menoleh kepadaku.


"Ada yang kautunggu, Tun?" tanya Mama.


Pertanyaan yang biasa.


"Daripada duduk menganggur, lebih baik kau ambil buku yang dibelikan Papa kemarin."


Aku turun dari kursi dekat jendela, melangkah ke kamar. Kuambil buku bersampul indah itu dari meja. Kemudian aku kembali ketempat semula. Mama telah pergi ke belakang.


Buku yang bagus. Tentang seorang anak yatim piatu yang menjadi masyhur. Betapa sengsara hidupnya, tetapi ia tabah bekerja keras disertai kejujuran. Ketika hampir separuh buku telah kubaca, jendela telah meremang --- langit temaram. Sebelum aku menutup tirai, kutatap ujung jalan yang sudah gelap. Pak Ampul belum muncul juga. Mengapa?


Makan malamku terasa kurang enak.


"Kenapa tidak dihabiskan. Tun?" ujar Mama.


Aku cuma menggeleng.


"Kenapa?"


"Kau, tidak sakit kan, Tun?" tukas Papa.


Lagi-lagi aku cuma menggeleng, diam.


Tiba-tiba kami terdiam. Ada ketukan di pintu.


Papa beranjak ke sana, dan aku di belakangnya. Sedangkan Mama membersihkan piring.


"Oh, Pak Ampul?" kata Papa setelah membuka pintu.


Aku menyelinap di belakang Papa. Ya, Betul itu Pak Ampul. Ia tidak sendirian. Seorang anak yang kurang lebih seumur denganku ada di sampingnya. Anak itu agak hitam, kurus dan kurang bersih kelihatannya. Dan aku merasa pernah melihatnya, tapi dimana?


"Mari masuk, Pak, dan ini?"
Papa bicara dengan nada bingung.


Pak Ampul tertawa. Tampaknya ia hendak mengabarkan sesuatu. Kami pun duduk. Tak lama kemudian Mama ikut duduk.


"Hari ini saya pulang terlambat," kata Pak Ampul memulai pembicaraannya. "Tanpa mobil truk, tetapi bersama Ipu. Ah, ceritanya, siang tadi aku sedang ngebut, maklum udara panas dan aku capek sekali. Eh, ada yang menyeberang jalan dengan berlari. Untung aku masih sempat membanting setir ke kiri. Mobilku rusak sedikit, karena menerobos semak-semak. Si penyeberang yang sembrono itu selamat. Ternyata penyeberang itu seorang anak kecil, anak yang malang."


Suasana hening sejenak. Rupanya tak ada yang berniat memotong cerita Pak Ampul. Sementara itu aku tengah berusaha keras mengingat-ingat dimana aku pernah melihat anak ini.


"Kasihan, ayah ibunya sudah meninggal," lanjut Pak Ampul, "dan Ipu luntang-lantung tanpa kasih sayang. Ah, biarlah truk tua itu mampir di bengkel, asal kami mendapat seorang anak."


"Bu Ampul sudah diberitahu?" tanya Mama.


"Iya, dan sekarang ia sedang menyiapkan kamar buat Ipu."


"Tentu Bu Ampul sangat bahagia," ujar Papa.


"Oho, iya! Dia bilang Ipu cakep sekali!"


Semua tertawa, kecuali aku dan Ipu sendiri. Dan tiba-tiba aku nyaris memekik, karena aku ingat sekarang. Aku pernah melihat dia dipasar, mencuri sepotong roti! Untung dia cuma di jewer oleh si tukang roti. Ah, tetapi ia ditampar satu kali oleh seseorang yang menangkapnya, ketika sedang berlari. Ya, betul, begitulah kejadiannya. Kutatap Ipu tajam-tajam diluar sadar. Dan ternyata Ipu merasakan tatapanku itu berkaca-kaca seolah memohon. Lalu ia terisak-isak.


"Ada apa, Ipu?" tanya Pak Ampul, Mama dan Papa berbareng.


Ipu semakin tersedu.


"Ya, saya mengaku, saya mengaku," katanya.


Lalu ia memandangku. Aku rasa Ipu mengingat kejadian itu, dimana aku mengatakan kepadanya, bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Tetapi saya lapar, Kak," katanya padaku.


Untuk memperjelas persoalan, aku menceritakan kejadian tersebut pada Pak Ampul, Papa dan Mama.


"Lupakanlah, Nak," bujuk Pak Ampul sambil memeluknya.


Mama meraih tangan Ipu. Katanya, "Meskipun kau pernah mencuri, tapi kau anak yang jujur. Berbuat salah tak apa-apa, asal tidak diulangi."


Saat itu aku telah sekali, membuatnya bersedih. Aku tercenung diam. Kurasa Mama benar, Ipu anak yang jujur. Ia mencuri semata-mata karena kelaparan.


"Ipu, aku senang ketemu kau lagi," itu saja ucapanku.


Saat itulah muncul Bu Ampul, mengajak suaminya dan Ipu pulang, karena makan malam sudah tersedia.


Source: Majalah Bobo, no.48 - 5 Maret 1988

Minggu, 02 Oktober 2011

PETUNJUK YANG TAK TERDUGA

MUSIBAH ITU menimpa keluarga Serusi di Italia. Malam itu akan diputar film koboi. Oleh karena itu Giovani Serusi, putera sulung keluarga Serusi yang baru berumur 9 tahun, boleh menonton film itu.


Acara sebelum film koboi adalah film dokumenter yang mendemonstrasikan pemijatan jantung oleh seorang dokter kepada seorang yang pingsan.


Ibu Giovani heran sekali melihat Giovani yang begitu tekun mengikuti acara di layar televisi. Tidak seorang pun mengira bahwa seluruh perhatian yang ia curahkan ketika itu akan menolong jiwa ibunya keesokan paginya.


Pagi harinya sebelum berangkat ke sekolah, Giovani mengerjakan soal-soal matematika. Sesudah selesai mengerjakan soal-soal itu, ia memeriksa lagi PR-nya sambil sarapan pagi. Sebab siang nanti ia sudah harus menyerahkan PR-nya itu kepada guru matematikanya.


Sambil memakan rotinya, Giovani berkata kepada ibunya, "Bu, tolong periksa pekerjaanku ini." Tetapi tidak ada jawaban dari ibunya. Ia kemudian mengulangi permintaannya. "Bu, tolong periksa pekerjaan ini sekarang, sebab aku ingin berangkat lebih awal."


Karena kesal. Giovani berteriak sambil menengok ke belakang.


"Bu!" Alangkah terkejutnya Giovani saat itu melihat ibunya duduk dengan mata terbelalak sambil memegang cangkir di tangan kiri dan tangan kanannya memegangi dadanya sebelah kiri. Air mukanya memancarkan perasaan was-was. Akhirnya, ia jatuh dan kejang-kejang.


Ibu Giovani yang bernama Elena Serusi, jatuh tepat di depan kaki putera sulungnya. Giovani yang tadi merasa kesal berubah menjadi panik, ia berteriak,


"Bu, ada apa?"


Dalam kebingungannya, ia mengambil segelas air dan memaksa ibunya untuk minum. Tetapi ibunya tetap diam saja. Muka ibunya tampak putih pucat. Giovani mengira ibunya akan mati.


Kemudian dengan tidak terduga-duga lebih dahulu, terbayang dengan jelas sekali, gambar dokter di televisi kemarin malam yang sedang mendemonstrasikan cara memijit jantung yang sekonyong-konyong berhenti. Giovani segera berpikir, aku harus bertindak juga!


Segera ia menyuruh adiknya menyingkir dan memberi perintah, "Cepat panggil Bibi!"


Dengan cepat sekali tangan-tangan kecil Giovani bergerak memijit-mijit dada ibunya, seperti yang dilakukan oleh dokter di televisi kemarin malam. Selalu mengiang di dalam benaknya kata-kata dokter kemarin malam, "Tekan bagian tengah dada dan lepaskan kembali. Kerjakan itu terus-menerus. Jangan putus asa."


Menit-menit berlalu dengan cepat, tetapi Giovani tanpa merasa lelah sedikit pun terus mengerjakan perintah dokter di televisi kemarin malam. Tetapi ibunya bergerak sedikit pun juga.


Lutut dan pergelangan tangan Giovani sudah mulai gemetar. Sakit rasanya, seperti akan kejang. Namun demikian Giovani tidak berhenti. Ia berpikir, kurasa aku tidak salah memijitnya.


Baru sesudah kurang lebih 20 menit ada gerakan di dada ibunya dan terasa makin lama makin jelas denyut jantung itu. Kemudian terlihatlah ibunya mulai bernapas dengan teratur.


Sebagai putera sulung, walaupun baru berumur 9 tahun, Giovani merasa bertanggung jawab atas keselamatan ibunya. Kembali terngiang-ngiang kata-kata dokter di televisi kemarin malam.


"Walaupun sudah terlihat gerakan jantungnya, tetap harus dibawa ke rumah sakit! Giovani lari menuruni rumahnya sambil berteriak pada bibi dan adiknya yang ia jumpai di tangga.


"Ibu hidup kembali!"


Giovani segera menghentikan mobil yang lewat di depan rumahnya.


"Tolong, Pak, Ibu saya harus segera dibawa ke rumah sakit."


Untunglah Bapak itu mau menolong. Ia lari mengikuti Giovani menaiki tangga rumah. Ibu Giovani diselimuti, lalu dibopong ke mobil.


Dengan satu tangan memegang kemudi mobil dan satu tangannya lagi menekan klakson mobil terus-menerus, bapak itu melarikan mobilnya cepat sekali. Meskipun demikian rasanya lama sekali baru tiba di rumah sakit. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit Nuoro di Sardinia. Ibu Giovani diserahkan kepada dokter.


Sekarang perjuangan melawan maut diambil alih oleh para dokter rumah sakit. Giovani duduk di sudut ruan tunggu dengan hati berdebar-debar. Baru sekarang terasa sakit pada lutut dan pergelangan tangannya. Ia merasa kesepian. Pikirnya, saya harus pulang memberi tahu Bibi dan adik-adik serta harus menelepon Ayah yang berada di luar kota. Ya Tuhan, tolonglah ibuku. Sembuhkanlah ibuku. Aku berjanji akan selalu berlaku baik terhadap Ibu dan selalu mengerjakan PR-ku dengan baik."


Bertepatan dengan akhir doa Giovani, keluarlah seorang perawat dari kamar ibunya. Ia menghampiri Giovani sambil berkata lembut.


"Kemungkinan ibumu sembuh besar sekali. Tetapi sekarang kamu harus pulang dan beristirahat. Ibumu masih harus tinggal di rumah sakit beberapa hari lagi. Besok kamu boleh datang lagi menengok ibumu."


Dengan perasaan lega Giovani pulang.


Keesokan harinya Giovani sudah berada di tepi pembaringan ibunya. Ibu Giovani membuka matanya, menyuruh Giovani mendekat. Diciumnya pipi Giovani. Terasa hangat air mata ibunya membasahi pipi Giovani. Giovani mendekap ibunya sambil berkata, 


"Ibu sembuh kembali, bukan?"


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting