JALANAN agak sepi. Biasanya petang ini truk Pak Ampul merangkak pulang dengan derumnya yang kecapaian. Dan biasanya aku suka berlari ke pagar, melambaikan tangan kepada sopir yang berwajah berewokan, letih tapi jenaka.
Pak Ampul hidup hanya berdua dengan istrinya. Mereka tak punya anak. Mungkin karena itu mereka amat sayang kepadaku. Apabila aku bermain ke rumah mereka, Bu Ampul suka menceritakan dongeng yang bagus-bagus. Aku sendiri anak tunggal.
Petang ini sudah bertambah larut, tetapi Pak Ampul belum juga kelihatan. Mama sudah lima kali mondar-mandir dan setiap kali menoleh kepadaku.
"Ada yang kautunggu, Tun?" tanya Mama.
Pertanyaan yang biasa.
"Daripada duduk menganggur, lebih baik kau ambil buku yang dibelikan Papa kemarin."
Aku turun dari kursi dekat jendela, melangkah ke kamar. Kuambil buku bersampul indah itu dari meja. Kemudian aku kembali ketempat semula. Mama telah pergi ke belakang.
Buku yang bagus. Tentang seorang anak yatim piatu yang menjadi masyhur. Betapa sengsara hidupnya, tetapi ia tabah bekerja keras disertai kejujuran. Ketika hampir separuh buku telah kubaca, jendela telah meremang --- langit temaram. Sebelum aku menutup tirai, kutatap ujung jalan yang sudah gelap. Pak Ampul belum muncul juga. Mengapa?
Makan malamku terasa kurang enak.
"Kenapa tidak dihabiskan. Tun?" ujar Mama.
Aku cuma menggeleng.
"Kenapa?"
"Kau, tidak sakit kan, Tun?" tukas Papa.
Lagi-lagi aku cuma menggeleng, diam.
Tiba-tiba kami terdiam. Ada ketukan di pintu.
Papa beranjak ke sana, dan aku di belakangnya. Sedangkan Mama membersihkan piring.
"Oh, Pak Ampul?" kata Papa setelah membuka pintu.
Aku menyelinap di belakang Papa. Ya, Betul itu Pak Ampul. Ia tidak sendirian. Seorang anak yang kurang lebih seumur denganku ada di sampingnya. Anak itu agak hitam, kurus dan kurang bersih kelihatannya. Dan aku merasa pernah melihatnya, tapi dimana?
"Mari masuk, Pak, dan ini?"
Papa bicara dengan nada bingung.
Pak Ampul tertawa. Tampaknya ia hendak mengabarkan sesuatu. Kami pun duduk. Tak lama kemudian Mama ikut duduk.
"Hari ini saya pulang terlambat," kata Pak Ampul memulai pembicaraannya. "Tanpa mobil truk, tetapi bersama Ipu. Ah, ceritanya, siang tadi aku sedang ngebut, maklum udara panas dan aku capek sekali. Eh, ada yang menyeberang jalan dengan berlari. Untung aku masih sempat membanting setir ke kiri. Mobilku rusak sedikit, karena menerobos semak-semak. Si penyeberang yang sembrono itu selamat. Ternyata penyeberang itu seorang anak kecil, anak yang malang."
Suasana hening sejenak. Rupanya tak ada yang berniat memotong cerita Pak Ampul. Sementara itu aku tengah berusaha keras mengingat-ingat dimana aku pernah melihat anak ini.
"Kasihan, ayah ibunya sudah meninggal," lanjut Pak Ampul, "dan Ipu luntang-lantung tanpa kasih sayang. Ah, biarlah truk tua itu mampir di bengkel, asal kami mendapat seorang anak."
"Bu Ampul sudah diberitahu?" tanya Mama.
"Iya, dan sekarang ia sedang menyiapkan kamar buat Ipu."
"Tentu Bu Ampul sangat bahagia," ujar Papa.
"Oho, iya! Dia bilang Ipu cakep sekali!"
Semua tertawa, kecuali aku dan Ipu sendiri. Dan tiba-tiba aku nyaris memekik, karena aku ingat sekarang. Aku pernah melihat dia dipasar, mencuri sepotong roti! Untung dia cuma di jewer oleh si tukang roti. Ah, tetapi ia ditampar satu kali oleh seseorang yang menangkapnya, ketika sedang berlari. Ya, betul, begitulah kejadiannya. Kutatap Ipu tajam-tajam diluar sadar. Dan ternyata Ipu merasakan tatapanku itu berkaca-kaca seolah memohon. Lalu ia terisak-isak.
"Ada apa, Ipu?" tanya Pak Ampul, Mama dan Papa berbareng.
Ipu semakin tersedu.
"Ya, saya mengaku, saya mengaku," katanya.
Lalu ia memandangku. Aku rasa Ipu mengingat kejadian itu, dimana aku mengatakan kepadanya, bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Tetapi saya lapar, Kak," katanya padaku.
Untuk memperjelas persoalan, aku menceritakan kejadian tersebut pada Pak Ampul, Papa dan Mama.
"Lupakanlah, Nak," bujuk Pak Ampul sambil memeluknya.
Mama meraih tangan Ipu. Katanya, "Meskipun kau pernah mencuri, tapi kau anak yang jujur. Berbuat salah tak apa-apa, asal tidak diulangi."
Saat itu aku telah sekali, membuatnya bersedih. Aku tercenung diam. Kurasa Mama benar, Ipu anak yang jujur. Ia mencuri semata-mata karena kelaparan.
"Ipu, aku senang ketemu kau lagi," itu saja ucapanku.
Saat itulah muncul Bu Ampul, mengajak suaminya dan Ipu pulang, karena makan malam sudah tersedia.
Source: Majalah Bobo, no.48 - 5 Maret 1988
0 comments:
Posting Komentar