Rabu, 20 Juli 2011

KACAMATA AYAH

IWAN membuka pintu kamarnya perlahan-lahan. Berjingkat-jingkat dia keluar kamar diikuti Resa adiknya. Suasana rumah siang hari terasa lengang. Kamar Papa dan Mama tertutup. Papa dan Mama pasti tidur siang.

BOSAN aku di dalam kamar," desah Iwan. "Panas sekali. Aku tak bisa tidur."

"Aku juga," sahut Resa. "Kita bermain-bermain di belakang, yuk!"

"Main apa?" Iwan bertanya.

Minggu, 17 Juli 2011

MEMBURU SEPEDA BARU

ALFIN sudah lama menabung. Hampir setahun! Ia sudah mereka-reka akan dibelikan apa uang tabungan itu nanti. Ya, ia ingin beli tas sekolah yang agak bagus dan kuat. Beli sepatu seperti milik Tomi. Dan kalau uang masih berlebih, Alfin ingin beli game-watch. Tentu Ayah memperbolehkan. Bukankah uang itu hasil tabungan Alfin sendiri?!

Sebetulnya yang lebih diimpikan adalah sebuah sepeda. Tapi mana cukup uang tabungan itu untuk beli sepeda?

"Kalau kurang, biar nanti Ayah yang menambah dua puluh ribu rupiah!" kata Ayah begitu mengetahui keinginan Alfin.


"Kalau hanya sepuluh ribuan, Oom mau deh menambah!" Sambung Oom Banu, paman Alfin.


"Bagaimana kalau masih kurang lagi, Yah?" tanya Alfin.


"Ya, engkau harus sabar, menabung lagi hingga uangmu cukup!" jawab Ayah.


"Tapi berarti Alfin tak dapat beli tas, sepatu, dan game-watch dong, Yah?"


"Alfin, tentu saja kau harus memilih, mana barang yang paling kaubutuhkan dan kauingini. Dan tentu kau terpaksa tidak membeli barang yang kurang kauperlukan!"


"Iya, deh Yah! Pokoknya Alfin ingin beli sepeda baru! Syukur kalau uangnya berlebih, bisa Alfin belikan tas!"


Ketika tabungan itu dibuka, ada tiga puluh lima ribu rupiah! Kalau ditambah dua puluh ribu dari Ayah, dan sepuluh ribu dari Oom Banu,..... aha enam puluh ribu rupiah! Tentu cukup untuk membeli sebuah sepeda yang diinginkan Alfin!

Jumlah hasil tabungan ini dengan cepat disampaikan Alfin pada Ayah dan Oom Banu. Alfin menagih janji mereka. Karena Oom Banu sedang sibuk, Ayah mengantarkan Alfin ke toko sepeda yang terdekat dari rumah mereka. Berbagai macam sepeda ada disana.

Alfin sangat tertarik pada sepeda yang berwarna hitam berstrip kuning. Tampan sekali kelihatannya. Rupanya si penjual juga tahu, Alfin sangat berminat pada sepeda itu.


"Tujuh puluh lima ribu, harga jualnya, Pak!" kata si penjual.


"Wah, mahal betul!" sahut ayah Alfin. Maka terjadilah tawar-menawar. Penjual itu kemudian menurunkan harganya menjadi tujuh puluh ribu, kemudian turun lagi menjadi enam puluh lima ribu.


Mata Alfin berbinar mendengar jumlah itu! Uangnya sudah cukup untuk membelinya! Alfin agak menolak ketik ayahnya menarik tangannya untuk berlalu.


"Lima puluh ribu, deh!" tawar ayah Alfin.


"Tak kurang lagi, Pak!" si penjual sambil diam-diam memandang Alfin dengan sudut matanya. Ayah Alfin mengajak Alfin berlalu.


"Tapi, Yah, bukankah uang kita sudah cukup!" kata Alfin.


"Kita lihat di tempat lain dulu, Alfin!" kata Ayah tajam. 


Alfin terpaksa menurut, walau dengan rasa kurang puas. Dia sudah memutuskan untuk membeli sepeda yang tadi. Rupanya bagus, kokoh lagi. Ia sudah sangat senang, dan uangnya sudah cukup untuk membelinya. Apa lagi yang dimaui Ayah?


Beberapa toko sepeda mereka masuki. Tapi sepeda yang sejenis yang tadi tidak ada.

"Besok saja Ayah tanyakan di toko sepeda dekat kantor Ayah," kata ayah Alfin.

"Tapi, Yah, sepeda yang tadi Alfin sudah senang sekali!"

"Alfin! Rasanya di toko itu harganya terlalu mahal. Kita lihat dulu ditempat lain. Mungkin ada yang lebih murah!" kata Ayah.


Untuk sementara Alfin terpaksa mengalah. Tapi keputusan telah tetap. Ia ingin membeli sepeda seperti yang di toko tadi itu!


Hari berikutnya, entah apa sebabnya, Ayah ternyata belum mendapatkan kepastian tentang harga sepeda itu. Ah, Alfin jadi curiga. Jangan-jangan Ayah atau Oom Banu hanya mencari alasan saja untuk mengingkari janji! Mungkin mereka tidak jadi mau membantu menambah uang! Maka dengan merajuk Alfin membujuk Ibu untuk menanyakan uang yang telah dijanjikan Ayah maupun Oom Banu.


"Jangan terlalu berprasangka, Afin! Ayah dan Oom Banu tak mungkin berbohong padamu!" kata Ibu.


"Tapi nyatanya uang itu belum diserahkan padaku!" seru Alfin.


"Dengar Alfin! Sebetulnya Ayah dan Oom Banu telah menitipkan uang itu pada Ibu. Ini kalau tak percaya!" kata Ibu sambil menunjukkan sejumlah uang di dalam sebuah amplop.


"U-uh, Ibu!" gumam Alfin sedikit malu. Tapi dasar Alfin, uang itu akhirnya ia minta. Ia yang akan menyimpannya, katanya.


Hari ketiga, Ayah dan Oom Banu tak memberi kabar-kabar tentang sepeda itu. Alfin sudah tak sabar lagi. Ia ingin segera memiliki sepeda baru itu! Maka dengan diantar seorang teman yang agak besar, Alfin pergi ke toko sepeda itu. Tanpa banyak tawar-menawar sepeda itu. Tanpa banyak tawar-menawar sepeda itu langsung dibayar sesuai dengan penawaran terakhir si penjual. Enam puluh lima ribu rupiah!


Dengan bangga Alfin membawa sepeda barunya pulang. Ayah dan Ibu menggeleng-gelengkan kepala saja melihat kelakuan Alfin. Betapa ngototnya anak itu, sampai sepeda itu dibelinya sendiri! Sebenarnya Ayah ingin menegur Alfin. Tapi Alfin kelihatan begitu gembira dengan sepeda barunya. Ayah tak tega.


Tapi beberapa hari kemudian, Arifin terlihat duduk lesu di rumah.


"Sudah punya sepeda baru, kenapa masih murung, Alfin?" tanya Ibu yang sedari tadi memperhatikannya.


"Bu, Tomi juga membeli sepeda baru persis sama dengan sepeda Alfin," kata Alfin ragu.


"Lho kan tidak apa-apa sepeda kalian sama?!" kata Ibu heran


"Bukan begitu, Bu. Tapi...."

"Tapi apa? Kau takut disaingi Tomi, begitu?

"Bu....bukan, Bu! Ayah Tomi membeli sepeda itu hanya dengan harga lima puluh ribu rupiah!" kata Alfin dengan wajah kecewa.


Ibu diam sejenak. Kemudian tersenyum.


"Tapi engkau kan sudah puas, bisa membeli sepeda sendiri. Dan harganya pun harga yang telah kausetujui sendiri!"


"U-uh, Ibu!  Kalau harganya hanya segitu, kan uang Alfin masih bersisa, dan bisa dibelikan tas baru pula!"


"Nah, nah, Alfin! Sekarang kau baru sadar dan merasakan akibat dari perbuatanmu yang suka terburu-buru itu, bukan?  Seandainya dulu engkau bersabar sedikit, dan mau menunggu apa yang dilakukan ayahmu, tentu engkau tak akan kecewa seperti ini!"


"Ya, Bu! Alfin menyesal! Sudah sepeda Alfin kemahalan, Alfin tak bisa beli tas lagi!"


"Nasi sudah menjadi bubur, Alfin! Tak perlu disesali! Yang penting lain kali kau harus suka bersabar dan hati-hati. Lagi pula kau harus ingat, tak mungkin Ayah atau Ibu bertindak yang akan merugikan anaknya!"


Ayah Alfin yang mendengar semua percakapan itu dari kamar sebelah, berdehem. Alfin segera menuju ke kamar ayahnya.

"Maafkan Alfin, Yah! Alfin terlalu terburu-buru!....," katanya.

Ayah hanya mengelus kepala Alfin dengan sayang....


Source: Majalah Bobo, No.23 - 17 November 1984








 

Jumat, 15 Juli 2011

RUMAH IDAMAN

SEJAK pagi tadi, Ikma dan Andi belum berjumpa dengan orang tua mereka. Ayah dan Ibu sudah tidak ada di rumah, ketika mereka bangun. Padahal hari itu adalah hari Minggu. Seharusnya Ayah dan Ibu ada di rumah, seperti biasanya.

"Aduh, Ayah dan Ibu sedang pergi kemana ya, Kak?" rengek Andi.

Andi yang masih duduk di bangku kelas satu ini hampir saja menangis, kalau tidak Ikma berkata, "Jangan menangis Andi! Ayah dan Ibu pasti segera pulang."

Minggu, 10 Juli 2011

PENGALAMAN YANG BERHARGA

ADALAH dua orang bersahabat yang gemar sekali mengembara. Tetapi dalam melakukan pengembaraannya keduanya tak pernah bersama-sama, melainkan berjalan sendiri-sendiri.

Pada suatu hari keduanya bertemu disuatu tempat. Seperti biasa, keduanya lalu bercerita tentang pengalaman masing-masing.

"Selama berkelana rasanya baru kali ini aku melihat seekor binatang yang sangat menjijikkan!" cerita pengembara pertama.

Selasa, 05 Juli 2011

USUL JIMMY

Kisah ini terjadi sekitar awal tahun 1800-an, ketika serombongan kereta serombongan kereta tertutup melintasi daerah-daerah gersang menuju ke daerah Barat (Amerika). Rombongan terdiri dari para keluarga yang sedang mencari daerah pemukiman baru yang subur disana. Salah satu dari rombongan adalah Ethan Potter dari Ohio, disertai anak lelakinya, Jimmy yang sudah menginjak remaja. Sementara ayahnya mengendalikan kuda, Jimmy membaca.


UJAR ayahnya, "Kau ini memang aneh. Masa membaca di atas kereta yang berjalan terguncang-guncang begini?"


"Soalnya bukunya bagus, Ayah," sahut Jimmy. "Tentang percobaan-percobaan ilmu ukur." Ia pun menunjukkan buku yang dibacanya kepada ayahnya. Sang Ayah melirik, tapi ia tak terkesan apa-apa dengan buku yang ditunjukkan ayahnya. Ia hanya mengguncangkan bahu, lalu meneruskan pekerjaanya.


Malam harinya, rombongan berkemah. Api unggun yang menyala-nyala dikelilingi anggota rombongan. Mereka bernyanyi menghibur diri. Kecuali Jimmy, yang menekuni buku yang dibacanya dengan penerangan api unggun yang temaram.


Ayahnya mulai jengkel terhadapnya. Serunya, "Jimmy, taruh bukumu. Cari kayu bakar. Lihat api sudah hampir padam." 


Sahut anaknya, "Tunggu sebentar biar saya selesaikan membacanya satu bab saja."


Sang Ayah mendesah. Di goyangkannya bahunya, namun dengan sabar menunggu sampai Jimmy beranjak dari tempat duduknya. Rekan-rekan seperjalanan mengamati tingkah Jimmy yang sulit dipisahkan dari bukunya.


Esok harinya, pagi-pagi benar, perjalanan diteruskan. Menjelang tengah hari sampailah rombongan di tepi sebuah sungai. Sungai Sanchee meskipun tidak begitu lebar, tapi arusnya kuat. Perjalanan menyebrangkan kereta melintasi sungai itu cukup sulit dan berbahaya. Jalan satu-satunya adalah menyeberangkannya dengan dinaikkan rakit.


Buck Osmond, pimpinan sebuah kereta, memberi usul, "Kita rentangkan tali dari tepian sini ke tepian seberang, masing-masing ujungnya kita ikatkan pada sebatang pohon yang kokoh. Rentangan tali itu untuk titian penyeberangan."


"Tapi Buck, harus ada yang membawa tali ke seberang," sahut Potter. 
"Arus sungai cukup deras."


"Ya, siapa lagi yang muda dan kuat, kalau bukan Jimmy, anakmu?" sahut Buck Osmond, kedua ujung bibirnya menurun. Senyumnya terasa mengejek. 


Jimmy, yang sedang membolak-balik halaman buku terkejut. Sahutnya, "Saya? Tapi ... tapi saya tidak bisa berenang!"


Terdengar gelak tawa mereka yang mendengarnya. Ethan Potter menunduk malu. Pete Thownsend, rekan dari kereta lain, menepuk-nepuk bahunya. Katanya, "Diamkan saja, Ethan. Memang Buck suka bercanda. Biar aku yang akan membawa tali ke seberang."


Meskipun agak mendapat kesulitan, tapi akhirnya Pete bisa membawa ujung tali ke seberang. Di tambatkannya ujungnya pada sebatang pohon yang terkuat disitu. Di seberang lain, sebuah kereta dinaikan ke atas rakit. Dan dengan seutas tali yang kuat pula, rakit digandengkan dengan tali titian, dengan bagian ujung dibentuk simpul longgar dipasang pada tali titian.


Maka rakitpun dikayuh ke seberang. Tapi ternyata arus sungai sangat kuat. Sehingga belum beranjak jauh dari tepian ketika tali penahan rakit putus. 


Kereta bersama pengiringnya pun tercebur ke sungai.


Dengan susah payah seluruh anggota rombongan menyelamatkan kereta itu.


Kini, apa yang harus mereka perbuat? Buck Osmond lagi-lagi memberi usul, "Kita tak bakal bisa mengarungi sungai dengan membawa kereta. Yah, jalan satu-satunya kita mencari jalan memutar."


Sahut Ethan Potter, "Tapi kapan kita akan sampai tujuan? Jaraknya lebih jauh 700 km. Lihat, persediaan makanan kita sangat terbatas. Dan akan lebih celaka jika kita terhalang pegunungan setelah musim dingin tiba ..."


Tiba-tiba muncul Jimmy, dengan gagasannya, Katanya, "Ayah saya tahu cara menyeberangkan kereta lewat sungai dengan aman."


"Kau?" sahut Buck Osmond, seringainya kelihatan lebih lebar. "Kau mau mengangkut kereta-kereta itu menyeberang dengan tenagamu yang macam Samson itu?'


"Bukan, Pak Buck," sahut Jimmy tenang, meskipun ia agak tersinggung diejek macam Samson itu?"


"Bukan, Pak Buck," sahut Jimmy tenang, meskipun ia agak tersinggung diejek macam begitu. "Menurut buku yang saya baca .."


Terdengar seruan, "Huu!" dari mereka yang mendengarnya. Tapi Jimmy tak memperdulikannya. Ia meneruskan kata-katanya, "Menurut buku ilmu ukur yang saya baca, tali putus oleh karena menentang arus. Betapa pun kuatnya tali, tapi arus sungai lebih kuat."


Sergah Buck Osmond, "Lalu apa kita harus menghentikan arus sungai? Itu sudah kodrat alam, Jim."


"Baiklah, saya jelaskan," kata Jimmy, kemudian ia menggambar sebuah denah ditanah. "Salah sebuah ujung tali kita ikatkan ke sebatang pohon yang kuat di seberang. Sementara ujung satunya kita ikatkan pada rakit yang akan membawa kereta. Selama persiapan, rakit kita tambatkan pada sebatang pohon di sini dengan seutas tali panjang pula. Jika tali penambat kita ulur, maka rakit pun akan dibawa arus, berjalan menyerong ke tepi seberang, dengan pohon pengikat sebagai sumbunya ...."


Gagasan Jimmy Potter memang masuk akal. Dan setelah dilaksanakannya, hasilnya memang seperti apa yang diharapkan. Semua kereta, yang jumlahnya enam buah, berhasil di bawa menyeberang dengan selamat. Dan malam harinya, anggota rombongan sudah membuat api unggun di tepi seberang. Mereka pun tidak pernah menunjukkan wajah mengejek jika Jimmy Potter sedang membaca buku.


Source: Majalah Bobo, no.22 - 6 September 1986





Minggu, 03 Juli 2011

DOLLY SI BONEKA GARAM

MALAM telah larut, tetapi Dolly si boneka garam masih terus berjalan menyusuri hutan lebat. Suatu saat tibalah ia di bawah sebuah pohon beringin yang amat besar. Dolly duduk melepas lelah. Hatinya sedih, karena telah tiga hari tiga malam berjalan mencari teman, tapi belum juga didapatinya.

Seekor burung hantu menyapanya dengan ramah, "Hai kawan, darimana malam-malam begini?".

Dolly lalu menjawab sambil memperkenalkan diri pada sang Burung. Ia juga menceritakan keinginannya untuk mendapatkan teman yang sama dengan dirinya, yakni terbuat dari garam. Setelah Burung Hantu mendengar cerita si Dolly, dia tertawa terbahak-bahak. Sebab dia tahu di hutan yang begini luasnya, tak ada boneka yang sama dengan Dolly.

Karena kesal, Dolly lalu pergi meninggalkan si Burung Hantu yang mengejeknya. Ia meneruskan perjalanannya hingga tiba di sebuah sungai yang amat luas. Dolly kecewa. Ia tahu tak mungkin dapat menyeberangi sungai itu. Bila tubuhnya terkena air, ia akan menjadi semakin kecil. Dolly tak jadi menyeberangi sungai. Ia hanya berjalan menyusuri tepi sungai saja.


Pada sebuah pohon pisang, Dolly bertemu dengan seekor kera. Ia kemudian menyapa sambil memperkenalkan diri. Ia juga menceritakan teman yang sedang dicarinya. Namun, kera itu juga menertawakannya. Hati Dolly semakin bertambah kecewa. kembali ia meneruskan perjalanannya.


Di atas sebuah batu besar, Dolly duduk termenung. Tiba-tiba terdengar olehnya suara gemuruh di kejauhan. Suara itu makin lama makin jelas terdengar. Dolly segera bangkit dan mencari asal suara tersebut. Akhirnya ia tiba disebuah pantai nan luas. Dolly berteriak memperkenalkan diri. Kembali diceritakannya tentang keinginannya.


Dengan suara gemuruh, Laut mengajak Dolly masuk ke rumahnya. Alangkah gembira hati Dolly! Dolly tahu, bahwa lautlah yang selama ini dicarinya. Dolly mulai melangkahkan kakinya ke tengah laut. Dan tubuhnya makin lama tampak semakin kecil. Akhirnya Dolly pun menemukan sahabat yang setia sepanjang masa.


Sumber: Majalah Bobo, No.52 - 2 April 1988

Jumat, 01 Juli 2011

DARES DAN CELEPUK

Di sebuah kota tua ada sebuah rumah tua. Atap rumah ini menjulang tinggi ke atas. Konon, rumah yang beratap tinggi, hawanya sejuk.

RUMAH tua itu dikelilingi oleh kebun yang luas. Dari jalan umum menuju rumah tua itu ada jalan khusus melintasi kebun tadi. Di kedua tepi jalan itu tumbuh pohon palem yang sudah tua juga.

Dibawah atap rumah yang tinggi itu tinggal sekawanan burung. Setiap pagi mereka berkicau menyambut terbitnya matahari. Di sudut lain yang gelap ada sebuah sarang yang menyendiri. Di situ tinggal sepasang burung dares bersama seekor anaknya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting