Jumat, 15 Juli 2011

RUMAH IDAMAN

SEJAK pagi tadi, Ikma dan Andi belum berjumpa dengan orang tua mereka. Ayah dan Ibu sudah tidak ada di rumah, ketika mereka bangun. Padahal hari itu adalah hari Minggu. Seharusnya Ayah dan Ibu ada di rumah, seperti biasanya.

"Aduh, Ayah dan Ibu sedang pergi kemana ya, Kak?" rengek Andi.

Andi yang masih duduk di bangku kelas satu ini hampir saja menangis, kalau tidak Ikma berkata, "Jangan menangis Andi! Ayah dan Ibu pasti segera pulang." 

"Tapi, Kak," rengek Andi lagi, "Biasanya Ayah dan Ibu selalu memberi tahu, sebelum mereka berangkat."

"Ah, mungkin mereka sangat terburu-buru sehingga lupa memberi tahu." Ikma menenangkan. "Lagipula ketika mereka pergi, kita masih tidur."

Sejenak kakak-beradik ini diam, mereka tidak saling berucap. Kesempatan ini dimanfaatkan Ikma untuk membereskan tempat tidur yang masih acak-acakan. Ketika Ikma sedang merapikan tempat tidurnya, Andi berkata, "Barangkali Ayah dan Ibu kabur."

"Huss, masa kabur, Andi?"
"Iya, Kak," jawab Andi pendek sambil menatap mata Kak Irma, "Sebab beberapa waktu lalu mereka seperti bertengkar dan tidak saling menyapa." Ikma kemudian seperti oleh kata-kata adiknya itu. Sejenak ingatannya menerawang. Memang betul apa yang dikatakan adiknya itu. Sejenak ingatannya menerawang. Memang betul apa yang dikatakan adiknya itu. Beberapa waktu yang lalu Ayah dan Ibu seperti tidak saling menyapa."Betul tidak, kak?" Ikma terkejut mendengar kata-kata Andi yang memang keras.

Sekali lagi Ikma harus mengakui, bahwa perkataan Andi itu ada benarnya. Ah, jangan-jangan karena pertengkaran itu mereka lalu meninggalkan rumah dan sekaligus meninggalkan mereka berdua. Apalagi Ikma ingat perkataan Ayah dua hari lalu, "Seminggu lagi kontrak rumah kita akan habis, Bu. Kita harus cepat-cepat mencari rumah kontrakan lainnya, sebab Pak Burhan tidak akan memperpanjang kontrak rumah ini ....."

Nah, ditambah dengan alasan kontrakan rumah yang akan habis minggu depan, lengkaplah sudah kecurigaan Ikma pada mereka. Namun Ikma tak ingin menampakkan kekhawatiran ini dihadapan adiknya. Ikma hanya berpikir, mengapa mereka membicarakan soal rumah kontrakan. Tapi Ikma cukup mengerti, sebab ia sudah kelas lima. Ia tahu Ayah bekerja di perusahaan swasta yang gajinya tidak begitu besar. Ibu pun harus pula bekerja untuk menambah-nambah penghasilan keluarga. "Wah, kapan mereka akan pulang, Kak? " tanya Andi yang tentu saja membuyarkan lamunannya. "Jangan-jangan Ayah dan Ibu tidak kembali menemui kita!"

"Ah, kau ini ada-ada saja, Andi!" Jangan berpikir yang bukan-bukan, lebih baik hari libur ini kita manfaatkan untuk membersihkan dan membereskan rumah, yuk!" ajak Ikma kemudian. Sebenarnya Ikmalah yang bekerja, Andi hanya membantu. Ikma mulai bekerja didalam rumah. Menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca sampai membereskan buku-buku. Semua Ikma yang mengerjakannya. Setelah itu bagian halaman rumah pun dikerjakannya. Ketika Ikma sedang memotong tanaman yang menguning di taman, ia sempat berpikir, "Kalau saja Ayah dan ibu memiliki rumah sendiri, tentu akan lebih bersemangat memeliharanya. Ah, sayang mereka belum sempat memilkinya ...."

Tak lama kemudian selesailah pekerjaan Ikma dan adiknya. Ikma lantas menyuruh adiknya mandi. Setelah Andi beres mandi, Ikma segera mandi.

"Nah, kita benar-benar telah bersih. Bukan hanya diri kita saja yang bersih, tapi lingkungan sekitar kita pun harus turut bersih," kata Ikma pada Andi yang telah benar-benar rapi. Namun, tiba-tiba saja Andi menjerit kegirangan, "Ayah dan Ibu datang, horeeeee!" teriaknya. Andi segera berlari menjemput mereka. Ikma mengikutinya.

"Wah, kalian telah bersih-bersih," kata Ayah dengan nada ceria.

"Bukan hanya Ikma dan Andi yang bersih. Yah, rumah dan halaman pun bersih. Cobalah Ayah lihat!"  sela Ikma manja.  "Tapi, Ayah dan Ibu pergi kemana?"

"Ayah dan Ibu bertengkar, ya?" sela Andi lucu. Ayah hanya tersenyum, kemudian berkata, "Ayah dan Ibu selama ini tidak pernah bertengkar. Mengapa kalian menuduh sekejam itu?"


"Barangkali Ayah dan Ibu tidak saling menyapa dan pergi tanpa pamit dulu, begitu?" Ibu menimpali. 


"Iya, Bu," seru mereka serempak.


"Ayah dan ibu memang tidak saling menyapa, tapi itu bukanlah bertengkar," kata Ayah, "Ayah dan Ibu sedang memikirkan sesuatu."


"Memikirkan sesuatu? Boleh Ikma tahu?"


"Tentu boleh!" kata Ayah seraya mengusap kepala putrinya,"Ayah dan Ibu sedang memikirkan kemungkinan kita memiliki rumah sendiri, tidak mengontrak seperti ini."


"Apakah bisa, Ayah?" tanya Ikma.


"Mengapa tidak," jawab Ayah seraya menatap mata Ibu, "Ayah telah membeli rumah mungil dengan cicilan."

"Rumah?" teriak mereka serentak.

"Ya, rumah kita," desah Ayah tenang. "Pimpinan perusahaan, tempat Ayah bekerja menganjurkan, agar Ayah memiliki rumah sendiri."


"Nah, untuk itu," kata Ibu, "Sekarang mari kita lihat rumah yang kita idam-idamkan itu!"


Ayah setuju usul ibu. Sebentar lagi Andi dan Ikma akan melihat rumah mereka sendiri. Rumah Idaman.


Source : Majalah Bobo, No.52 - 2 April 1988

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...