Minggu, 17 Juli 2011

MEMBURU SEPEDA BARU

ALFIN sudah lama menabung. Hampir setahun! Ia sudah mereka-reka akan dibelikan apa uang tabungan itu nanti. Ya, ia ingin beli tas sekolah yang agak bagus dan kuat. Beli sepatu seperti milik Tomi. Dan kalau uang masih berlebih, Alfin ingin beli game-watch. Tentu Ayah memperbolehkan. Bukankah uang itu hasil tabungan Alfin sendiri?!

Sebetulnya yang lebih diimpikan adalah sebuah sepeda. Tapi mana cukup uang tabungan itu untuk beli sepeda?

"Kalau kurang, biar nanti Ayah yang menambah dua puluh ribu rupiah!" kata Ayah begitu mengetahui keinginan Alfin.


"Kalau hanya sepuluh ribuan, Oom mau deh menambah!" Sambung Oom Banu, paman Alfin.


"Bagaimana kalau masih kurang lagi, Yah?" tanya Alfin.


"Ya, engkau harus sabar, menabung lagi hingga uangmu cukup!" jawab Ayah.


"Tapi berarti Alfin tak dapat beli tas, sepatu, dan game-watch dong, Yah?"


"Alfin, tentu saja kau harus memilih, mana barang yang paling kaubutuhkan dan kauingini. Dan tentu kau terpaksa tidak membeli barang yang kurang kauperlukan!"


"Iya, deh Yah! Pokoknya Alfin ingin beli sepeda baru! Syukur kalau uangnya berlebih, bisa Alfin belikan tas!"


Ketika tabungan itu dibuka, ada tiga puluh lima ribu rupiah! Kalau ditambah dua puluh ribu dari Ayah, dan sepuluh ribu dari Oom Banu,..... aha enam puluh ribu rupiah! Tentu cukup untuk membeli sebuah sepeda yang diinginkan Alfin!

Jumlah hasil tabungan ini dengan cepat disampaikan Alfin pada Ayah dan Oom Banu. Alfin menagih janji mereka. Karena Oom Banu sedang sibuk, Ayah mengantarkan Alfin ke toko sepeda yang terdekat dari rumah mereka. Berbagai macam sepeda ada disana.

Alfin sangat tertarik pada sepeda yang berwarna hitam berstrip kuning. Tampan sekali kelihatannya. Rupanya si penjual juga tahu, Alfin sangat berminat pada sepeda itu.


"Tujuh puluh lima ribu, harga jualnya, Pak!" kata si penjual.


"Wah, mahal betul!" sahut ayah Alfin. Maka terjadilah tawar-menawar. Penjual itu kemudian menurunkan harganya menjadi tujuh puluh ribu, kemudian turun lagi menjadi enam puluh lima ribu.


Mata Alfin berbinar mendengar jumlah itu! Uangnya sudah cukup untuk membelinya! Alfin agak menolak ketik ayahnya menarik tangannya untuk berlalu.


"Lima puluh ribu, deh!" tawar ayah Alfin.


"Tak kurang lagi, Pak!" si penjual sambil diam-diam memandang Alfin dengan sudut matanya. Ayah Alfin mengajak Alfin berlalu.


"Tapi, Yah, bukankah uang kita sudah cukup!" kata Alfin.


"Kita lihat di tempat lain dulu, Alfin!" kata Ayah tajam. 


Alfin terpaksa menurut, walau dengan rasa kurang puas. Dia sudah memutuskan untuk membeli sepeda yang tadi. Rupanya bagus, kokoh lagi. Ia sudah sangat senang, dan uangnya sudah cukup untuk membelinya. Apa lagi yang dimaui Ayah?


Beberapa toko sepeda mereka masuki. Tapi sepeda yang sejenis yang tadi tidak ada.

"Besok saja Ayah tanyakan di toko sepeda dekat kantor Ayah," kata ayah Alfin.

"Tapi, Yah, sepeda yang tadi Alfin sudah senang sekali!"

"Alfin! Rasanya di toko itu harganya terlalu mahal. Kita lihat dulu ditempat lain. Mungkin ada yang lebih murah!" kata Ayah.


Untuk sementara Alfin terpaksa mengalah. Tapi keputusan telah tetap. Ia ingin membeli sepeda seperti yang di toko tadi itu!


Hari berikutnya, entah apa sebabnya, Ayah ternyata belum mendapatkan kepastian tentang harga sepeda itu. Ah, Alfin jadi curiga. Jangan-jangan Ayah atau Oom Banu hanya mencari alasan saja untuk mengingkari janji! Mungkin mereka tidak jadi mau membantu menambah uang! Maka dengan merajuk Alfin membujuk Ibu untuk menanyakan uang yang telah dijanjikan Ayah maupun Oom Banu.


"Jangan terlalu berprasangka, Afin! Ayah dan Oom Banu tak mungkin berbohong padamu!" kata Ibu.


"Tapi nyatanya uang itu belum diserahkan padaku!" seru Alfin.


"Dengar Alfin! Sebetulnya Ayah dan Oom Banu telah menitipkan uang itu pada Ibu. Ini kalau tak percaya!" kata Ibu sambil menunjukkan sejumlah uang di dalam sebuah amplop.


"U-uh, Ibu!" gumam Alfin sedikit malu. Tapi dasar Alfin, uang itu akhirnya ia minta. Ia yang akan menyimpannya, katanya.


Hari ketiga, Ayah dan Oom Banu tak memberi kabar-kabar tentang sepeda itu. Alfin sudah tak sabar lagi. Ia ingin segera memiliki sepeda baru itu! Maka dengan diantar seorang teman yang agak besar, Alfin pergi ke toko sepeda itu. Tanpa banyak tawar-menawar sepeda itu. Tanpa banyak tawar-menawar sepeda itu langsung dibayar sesuai dengan penawaran terakhir si penjual. Enam puluh lima ribu rupiah!


Dengan bangga Alfin membawa sepeda barunya pulang. Ayah dan Ibu menggeleng-gelengkan kepala saja melihat kelakuan Alfin. Betapa ngototnya anak itu, sampai sepeda itu dibelinya sendiri! Sebenarnya Ayah ingin menegur Alfin. Tapi Alfin kelihatan begitu gembira dengan sepeda barunya. Ayah tak tega.


Tapi beberapa hari kemudian, Arifin terlihat duduk lesu di rumah.


"Sudah punya sepeda baru, kenapa masih murung, Alfin?" tanya Ibu yang sedari tadi memperhatikannya.


"Bu, Tomi juga membeli sepeda baru persis sama dengan sepeda Alfin," kata Alfin ragu.


"Lho kan tidak apa-apa sepeda kalian sama?!" kata Ibu heran


"Bukan begitu, Bu. Tapi...."

"Tapi apa? Kau takut disaingi Tomi, begitu?

"Bu....bukan, Bu! Ayah Tomi membeli sepeda itu hanya dengan harga lima puluh ribu rupiah!" kata Alfin dengan wajah kecewa.


Ibu diam sejenak. Kemudian tersenyum.


"Tapi engkau kan sudah puas, bisa membeli sepeda sendiri. Dan harganya pun harga yang telah kausetujui sendiri!"


"U-uh, Ibu!  Kalau harganya hanya segitu, kan uang Alfin masih bersisa, dan bisa dibelikan tas baru pula!"


"Nah, nah, Alfin! Sekarang kau baru sadar dan merasakan akibat dari perbuatanmu yang suka terburu-buru itu, bukan?  Seandainya dulu engkau bersabar sedikit, dan mau menunggu apa yang dilakukan ayahmu, tentu engkau tak akan kecewa seperti ini!"


"Ya, Bu! Alfin menyesal! Sudah sepeda Alfin kemahalan, Alfin tak bisa beli tas lagi!"


"Nasi sudah menjadi bubur, Alfin! Tak perlu disesali! Yang penting lain kali kau harus suka bersabar dan hati-hati. Lagi pula kau harus ingat, tak mungkin Ayah atau Ibu bertindak yang akan merugikan anaknya!"


Ayah Alfin yang mendengar semua percakapan itu dari kamar sebelah, berdehem. Alfin segera menuju ke kamar ayahnya.

"Maafkan Alfin, Yah! Alfin terlalu terburu-buru!....," katanya.

Ayah hanya mengelus kepala Alfin dengan sayang....


Source: Majalah Bobo, No.23 - 17 November 1984








 

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...