BOSAN aku di dalam kamar," desah Iwan. "Panas sekali. Aku tak bisa tidur."
"Aku juga," sahut Resa. "Kita bermain-bermain di belakang, yuk!"
"Main apa?" Iwan bertanya.
"Mobil-mobilan. Mana mobil-mobilan kita yang baru itu?" jawab Resa.
Pandang mata Resa nyalang ke sana ke mari. "Hei,itu dia diatas bufet."
Hampir bersamaan keduanya melangkah mendekati bufet. Iwan bahkan setengah meloncat agar bisa menggapai mobil-mobilannya. Resa pun tak mau kalah. Dia menarik baju kakaknya lalu melompat maju.
"Aku dahulu!" suara Iwan setengah memekik.
"Aku dahulu!" Resa tak mau kalah. Keduanya telah berdiri di depan bufet. Kedua tangan Iwan dan Resa saling menggapai-gapai.
Prang! Sebuah benda berkilat jatuh di atas bufet. Benda tersebut ternyata kacamata Papa. Iwan sangat terkejut, demikian pula adiknya. Mata keduanya terbelalak. Iwan melirik ke kamar tidur Papa dan Mama. Tak terdengar suara apapun dari dalam kamar. Hal itu berarti Papa dan Mama tidak mendengar kejadian diluar kamar.
"Kamu sih!" tuduh Iwan.
"Kamu!" tangkis Resa.
Tangan Iwan cepat mengumpulkan pecahan kaki di dekat kakinya.
"Cepat cari koran bekas," Iwan menyuruh adiknya.
Serpih-serpih pecahan kacamata itu lalu mereka kumpulkan. Bersama gagangnya, pecahan kacamata itu mereka bungkus dengan koran. Iwan lalu menarik adiknya. Setelah masuk kamar, pintu pun mereka tutup.
"Papa pasti marah," desis Iwan penuh penyesalan. "Coba, kalau kita tetap dalam kamar, pasti kaca mata itu tetap utuh."
"Kamu yang mengajakku keluar." Kata Resa seakan menyalahkan kakaknya.
"Tapi bukan memecahkan kacamata Papa!" balas Resa sengit.
"Siapa yang mengajak memecahkan kacamata? Kita kan tidak sengaja! Coba, kalau kamu tidak berusaha merebut mobil-mobilan itu!"
"Kamu yang mau merebut!" tuduh Resa.
"Kamu yang mau merebut!" tuduh Resa.
"Kamu!" balas Iwan.
"Kamu!"
"Kamu!"
"Huss, diam! Nanti Papa dan Mama terbangun."
Kedua kakak beradik itu diam terpekur di tepi tempat tidur. Perasaan bersalah jelas membayang di wajah keduanya. Mereka membayangkan Papa pasti sangat kecewa karena kacamatanya pecah. Papa pasti tidak bisa baca koran serta buku-buku. Pekerjaan Papa pun pasti terganggu. Oo, keduanya sangat sedih membayangkan semua itu. Iwan bangkit lalu berjalan hilir mudik di depan tempat tidur. Matanya sesekali melirik ke arah bungkusan yang diletakkan di atas meja. Andaikata dia diletakkan di atas meja. Andaikata dia seorang tukang sulap lalu bim...salabim... Pecahan kacamata dalam bungkusan itu akan utuh kembali.
"Kita harus berterus terang pada Papa," bisik Iwan kepada adiknya. "Kita harus meminta maaf atas kelalaian kita."
"Selain meminta maaf, kurasa lebih baik kita berusaha menggantikannya," usul Resa.
"Kau sangka harga kacamata itu murah." Iwan menatap adiknya. "Sebelum beli yang baru, Papa harus periksa ke dokter mata dulu."
Resa bangkit lalu mendekati kakaknya.
"Kita harus menggantikannya dengan uang tabungan." Resa menegaskan. Tangan Resa meraih pintu lemari. Sebuah celengan berbentuk kucing lalu dia keluarkan.
"Kurasa tabunganku ini sudah cukup banyak," kata Resa sambil mengguncang-guncangkan celengan kucingnya. "Ditambah dengan isi celenganmu, pasti sudah lebih dari cukup."
Iwan ganti membuka lemari pakaiannya. Diraihnya celengan yang berbentuk anjing itu. Celengan itu lalu diguncang-guncangkannya. Sudah cukup berat memang. Hal itu berarti isinya sudah cukup banyak. Iwan memang rajin menabung. Begitu pula dengan Resa adiknya. Keduanya telah bersepakat ingin memecah celengan kalau libur panjang tiba. Dengan uang itu keduanya ingin berlibur di tempat Nenek.
"Apa boleh buat, kedua celengan ini harus kita serahkan pada Papa," bisik Iwan akhirnya.
Terdengar suara bergumam dari kamar sebelah. Suara pintu kamar dibuka lalu langkah kaki menjauh.
"Mama sudah bangun," bisik Resa.
"Kalau begitu ayo menghadap Papa," ajak Iwan sambil meraih celengan anjingnya.
Keduanya membuka pintu kamar lalu berjingkat menuju kamar Papa. Papa sudah bangun tapi masih menelentang ditempat tidur. Papa menoleh ketika melihat kemunculan dua anaknya.
"Hei, kalian sudah bangun!" sambut Papa. "Lho, buat apa celengan ini?"
"Ada apa ini kok masing-masing membawa celengan?" tanya Mama pula dari ambang pintu kamar.
"Kami mau minta maaf pada Papa," kata Iwan dengan suara bergetar. "Kami memecahkan kacamata di atas bufet. Kami ingin mengambil mobil-mobilan."
"Kedua celengan ini sebagai ganti kacamata Papa?" tanya Papa sambil tersenyum. Tawa Papa pun pecah. Iwan dan Resa saling berpandangan.
"Kacamata itu sudah tidak dipakai lagi," sambung Papa kemudian. "Papa sudah membeli yang baru."
"Lagi pula kacamata itu sudah tidak ada gagangnya," sambung Mama pula. "Nah, ketahuan kalian kurang teliti. Yah, tapi Mama dan Papa sangat menghargai kejujuran kalian. Kalian pun rupanya ingin bertanggung jawab dengan jalan menyerahkan tabungan."
"Baiklah anak-anak." Papa turun dari tempat tidur. "Kembalikan celengan itu ketempatnya. Belum tiba saatnya untuk mengeluarkan isinya. Lebih baik kalian mandi dan ..."
"Oh ya, ke Pekan Raya !" sambut Iwan seakan diingatkan.
"Horee...kita ke Pekan Raya !" sorak Resa sambil melompat-lompat.
Sumber: Majalah Bobo, no.25 - 27 September 1986
0 comments:
Posting Komentar