Rabu, 14 Desember 2011

KELEDAI DAN UNTA

Keledai adalah seekor binatang yang periang. Ia sering membawa barang-barang dan tidak akan mengeluh kalau ada anak yang menungganginya. Tetapi keledai terkenal juga dengan kebodohannya.

SUATU KETIKA, bertahun-tahun yang lampau, Keledai dan Unta bersahabat baik. Majikan mereka seorang kejam. Ia selalu memperlakukan mereka dengan kasar. Mereka selalu sibuk membawa barang-barang muatan ataupun orang.

Suatu hari mereka memutuskan untuk meninggalkan majikan mereka. Mereka berlari sampai tiba di padang yang hijau, jauh dari kandang tua mereka. Mereka menemukan sebuah gua dan tinggal di sana.

Mereka hidup bahagia di padang itu. Di sana banyak rumput dan air. Dan di sana tidak ada muatan dan majikan kejam. Keledai tumbuh cepat dan gemuk. Suatu hari ia berkata temannya, si Unta, "Aku sangat gembira dan bahagia di sini. Aku ingin berteriak dan menyanyi."

Temannya menjawab, "Tidak maukah kau diam dan tenang? 
Jika kau menyanyi, seseorang mungkin mendengar dan melaporkan kita ke majikan."

Selama beberapa saat, Keledai setuju dan tetap tenang. Tetapi ia sangat ingin bernyanyi, sehingga ia melupakan nasihat temannya. Ia mulai menyanyi. Seseorang mendengarnya dan segera melapor kepada majikan mereka. Mereka kemudian ditangkap.

Dalam perjalanan pulang, si Keledai jatuh sakit. Siang majikan meletakkan dia ke punggung Unta. Tentu saja Unta marah sebab Keledai tidak mau mendengarkan nasihatnya. Ia menjadi semakin marah, ketika harus membawa keledai. Ketika ia melalui jalan yang curam dan berbatu, ia mulai bergoyang dan membuat gerakan aneh. Si Keledai ketakutan, maka ia bertanya pada temannya, "Apa yang sedang kaulakukan?"

"Aku sedang menari," jawab Unta dengan tenangnya.

"Apakah ini saatnya untuk menari?" tanya Keledai.

"Ya," jawab Unta, "sama halnya ketika kau bernyanyi!" Unta terus berjalan goyang dan menyepak-nyepak sampai si Keledai terjatuh di bebatuan dan terluka.

Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

Kamis, 24 November 2011

PERMATA AJAIB

Sejak zaman kuno, Korea terkenal tidak hanya sebagai penghasil permadani yang indah, tapi juga mempunyai kebudayaan timur yang tinggi. Orang-orang Korea juga terkenal sangat ramah, dan kehidupan keluarganya pun selalu nampak harmonis, rukun dan akrab satu sama lain. Mereka pun rajin dan teliti. Cerita rakyat ini adalah salah satu bukti, rakyat Korea mempunyai kebudayaan timur yang tinggi.


DI SUATU DESA di pegunungan bagian barat Korea, hidup dua orang kakak beradik bersama ibu mereka yang sudah tua. Ibu itu sudah menjanda. Hidupnya amatlah miskin. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja berat. Tanggungan keluarga kini menjadi beban kedua anaknya yang masih muda. Mereka bekerja pada seorang kaya di seberang desa. Pekerjaan mereka membelah kayu bakar, memasak air dan membuat perapian.


Suatu hari ketika mereka sedang bekerja, berkatalah si adik kepada kakaknya.


"Kak, ambillah air ke sungai,  biar aku yang membelah kayu."


"Biarlah kita kerjakan bersama-sama, setelah selesai baru kita mengambil air ke sungai," jawab kakaknya.


Mereka pun berjalan ke sungai untuk mengambil air dengan bejana. Tapi karena lapar dan lelah, mereka terpeleset dan jatuh, hingga pecahlah bejana yang penuh dengan air itu. Oleh orang kaya itu mereka tidak dimarahi, tapi diusir dan tak boleh lagi bekerja. Mereka pun pulang tanpa membawa makanan seperti yang selalu mereka bawa, setelah bekerja seharian penuh pada orang kaya itu.


Dalam perjalanan pulang, mereka saling berpegangan tangan melintasi jembatan gantung yang panjang. Tetapi baru sampai di tengah jembatan, mereka berhenti karena melihat sesuatu yang indah di dasar sungai yang airnya jernih itu.


Ketika benda itu mereka ambil, terkejutlah mereka, sebab benda itu ternyata sebuah permata! Mereka menyimpan permata itu di dalam saku dan kemudian pulang.


Sesampai di rumah, mereka menceritakan semuanya kepada ibu mereka. Si ibu menyuruh untuk menyimpan permata itu.


Tapi berkatalah anaknya yang pertama, "Bu, di mana kita harus menyimpan permata ini, sedangkan kita tidak mempunyai kotak untuk menyimpannya."


Mereka berpikir mencari kotak untuk menyimpan permata itu. Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menyimpan permata itu di dalam kotak beras mereka yang sudah kosong. Kemudian mereka terlelap tidur.


Pagi-pagi benar, sebelum mereka mencari kerja, kedua kakak beradik itu membuka kotak beras hendak melihat permata. Tapi alangkah terkejutnya mereka.


"Dik, lihatlah, kotak beras kita penuh dengan beras," kata si Kakak.


"Dan permata itu bersinar-sinar di atasnya," teriak adiknya kegirangan.


"Dik, bagaimana kalau kita persiapkan makan pagi kita dengan beras ini," usul kakaknya.


"Baiklah, Kak!" jawab adiknya menyetujui.


Mereka pun siap untuk sarapan pagi bersama ibu mereka. Ketika akan makan berkatalah si ibu kepada mereka, "Anak-anakku, sebelum kita makan, sebaiknya mengucaplah syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dan jangan lupa bagikanlah beras itu kepada para tetangga kita yang miskin."


Mereka kemudian membagi-bagikan beras itu kepada para tetangga. Dan kotak beras itu selalu penuh kembali setiap mereka mengambil beras.


Sampai suatu ketika kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa dan mempunyai pekerjaan yang tetap.


Kakak yang lebih tua telah pula menikah. Kedua kakak beradik itu sepakat untuk hidup terpisah. Mereka bermaksud membagi harta mereka termasuk permata itu.


Maka berkatalah kakak yang lebih tua kepada adiknya, "Dik, permata ini tidak dapat dibagi, maka ambil sajalah untukmu. Kamu boleh pergi untuk menikah dan hidup dengan keluargamu."


"Tidak, ini untuk Kakak! Kakaklah yang pertama kali melihatnya dan membawa pulang permata itu" jawab adiknya.


Mereka ingin membagi permata itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya mereka sepakat mengembalikan permata itu ketempat sediakala, agar ditemukan orang lain yang miskin seperti mereka dulu.


Mereka pun pergi ke jembatan gantung itu dan melempar permata itu ke sungai. Tapi alangkah terkejut mereka, karena ternyata terdapat lagi dua permata di dasar sungai itu. Dan kedua kakak beradik itu mengambil masing-masing satu permata.


Kini mereka hidup dengan keluarganya masing-masing dalam keadaan bahagia dan kecukupan. Sampai sekarang walaupun sudah berilmu tinggi, pandai, dan sudah berkecukupan, orang Korea masih tetap rajin belajar dan bekerja.


Sumber: Majalah Bobo, No.50 - 19 Maret 1988

Sabtu, 12 November 2011

TERLALU MENGHARAP PERTOLONGAN

LEGA hati Rani ketika ia keluar dari dalam bis yang pengab itu. Kini ia dapat bernapas dengan lega. Di hirupnya udara sepuas-puasnya ke dalam paru-parunya. Lalu di hembuskannya kembali keluar melalui lubang hidungnya.


Dipandanginya kedua tas bawaannya yang menggeletak dekat kakinya. Satu tas penuh berisi baju-bajunya. Satu tas lagi penuh berisi oleh-oleh buat Nenek.


"Uuh, berat juga," gumam Rani sambil mengangkat tas berisi baju. Disandangnya tas itu dipundaknya. Lalu tas yang satunya lagi dibawanya dengan tangan kiri.


Selangkah demi selangkah Rani memulai perjalanannya ke rumah Nenek. Rumah Nenek masih jauh. Rani harus menempuh perjalanan sekitar 4 kilometer. Padahal di tempat itu tidak ada becak ataupun sado. Rani harus menempuh jarak sejauh itu dengan menggunakan kedua kakinya.


Baru beberapa ratus meter melangkah, Rani sudah berhenti. Kedua tas yang dibawanya memang cukup berat. Sambil mengusap peluhnya Rani menoleh ke kanan dan kekiri. Namun, jalan menuju desa Nenek tetap lengang.


"Sepi. Kok tidak ada orang pulang dari pasar," gumam Rani. "Baiklah aku akan pelan-pelan. Barangkali sebentar lagi ada orang sedesa Nenek pulang dari pasar."


Bagi gadis sekecil Rani kedua tas itu cukup berat. Terutama tas yang berisi oleh-oleh. Entah oleh-oleh apa yang dititipkan ibu. Oleh-oleh yang dibawa ke desa memang selalu banyak. Oleh-oleh itu akan dibagi-bagikan pada saudara-saudara Rani. Hampir seluruh saudara dari pihak ibu tinggal di desa itu.


Terik matahari mulai terasa menyengat. Peluh seakan membanjir dari tubuh Rani yang kecil itu. Sambil menggigit bibir menahan tangis Rani terus melangkah. Rasa capai, haus, lapar dan kesal campur aduk menjadi satu. Rani seakan ingin menjerit menumpahkan rasa kesalnya.


Hari semakin siang. Rani terus menapak di jalanan desa yang berdebu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk sekedar menarik napas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah lautan padi. Sesekali angin kering bertiup mengusap wajahnya.


"Oh, ah, capai.... capai..." keluhnya sambil melemparkan begitu saja kedua tas bawaannya. Rani lalu duduk di rerumputan tepi jalan. Ia sama sekali tidak mengindahkan debu yang mengotori bajunya. Rani sangat kecapaian. Padahal rumah Nenek masih jauh. Tak terasa air matanya mulai menetes.


Sebetulnya Rani tak akan menderita seperti itu, kalau saja ia mau bersabar. Rano kakaknya yang duduk di kelas enam juga akan ke desa. Namun sebelum pergi Rano harus membantu Ayah membetulkan pompa air. Paling tidak dibutuhkan waktu dua hari untuk membongkar pompa air. Rani tidak sabar kalau harus menunggu selama itu. Ia sudah sangat rindu pada Nenek. Karena itu ia mengambil keputusan, akan berangkat ke desa seorang diri.


"Kamu berani?" tanya Rano waktu itu.
"Mengapa tidak?" jawab Rani. "Kalau di jalan ada yang menggangguku. Ciatt ..." Rani memperagakan beberapa jurus silat. Dan ... berrr ... Rani meloncat ke arah kakaknya sambil melancarkan tendangan. Rano menangkis lalu balas memukul. Kalau saja ibu tidak datang melerai, keduanya pasti sudah berantem.


"Kalau begitu tinggalkan oleh-oleh itu," kata Rano akhirnya. "Biarlah oleh-oleh itu aku yang membawa."


"Tidak! sahut Rani bersikeras. "Datang ke desa tanpa oleh-oleh tidak lucu!"


"Jadi, oleh-oleh seberat itu akan kaubawa?"
"Ya!" sahut Rani ketus.


"Baiklah, Tuan Putri. Silahkan berangkat ke desa untuk menjumpai nenek tercinta," Rano membungkuk lalu tangannya melambai menirukan adegan drama di teve.


"Huh!" Rani hanya mencibir. Rano terbahak.


Kini ditengah sawah Rani menyesal, karena telah berangkat sendiri. Tapi penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kini ia harus berjuang seorang diri melawan rasa capek, haus dan lapar. Ia harus berhasil. Ya, berhasil mencapai rumah Nenek!


"Haiit!  Ciaat!" Ciaat!" Rani serentak melompat lalu melancarkan empat kali pukulan ke udara. Dengan napas terengah-engah diraupnya kedua tas bawaannya. Lalu dengan langkah ditegap-tegapkan Rani berangkat.


"Raniii!" jerit Nenek menangisi kedatangan cucunya, diusapnya peluh yang membasahi wajah dan tubuh Rani. "Kamu dengan siapa? Sendirian dengan tas seberat ini. Oh, minum! Minum dahulu, cucuku." Nenek bergegas mengambil air kendi yang dingin itu lalu membasahi kerongkongan Rani.


Paman, Bibi, dan seluruh saudara Rani di desa segera berkumpul. Di antara bibinya ada yang menangis. Mereka mengira Rani pergi ke desa tanpa izin kedua orang tuanya.


"Rani tak apa-apa, Nek, Bibi," kata Rani setelah hilang segenap rasa lelahnya.


"Dalam suratmu kamu bilang akan datang sekitar tanggal lima belas," kata Nenek.


"Ulangan catur wulan kali ini diajukan sepuluh hari, Nek. Seminggu kemudian terima rapor. Lalu Rani langsung kemari."


"Tapi mengapa harus dengan membawa tas seberat itu," sela Bibi dengan nada penuh sesal.


"Begini, Bi," sahut Rani sambil tersenyum. "Menurut perkiraan Rani pasti banyak tetangga Nenek yang pergi ke pasar. Nah, masa tidak ada orang yang mau membantu membawakan tas ini."


"Perkiraanmu salah, Cu!" Nenek terkekeh. "Hari pasar kan jatuh dua hari lagi. Tentu saja tak ada orang pergi ke pasar. Lagi pula sekarang sedang musim orang menyiangi rumput dan menyebar pupuk. Oh, Cu! Kasihan benar nasibmu."


"Hitung-hitung sebagai penambah latihan ilmu silatmu," Paman ikut menyambung. "Kata ayahmu, kau semakin rajin latihan silat. Bagus!"


Hati Rani menggunung menerima pujian Paman. Secara tidak langsung semangat ilmu silatnyalah yang turut membantu. Dengan semangat itu ia berhasil membawa beban berat ke rumah Nenek. Hatinya puas, walaupun harus ditebus dengan pundak dan tangan yang lecet. Lecet akibat kedua tali tas bawaannya.


Sumber: Majalah Bobo, no.50 - 19 Maret 1988

Rabu, 09 November 2011

KALAU IBU MARAH TANDANYA SAYANG

Pagi itu aku bermain sendirian. Sepi dan membosankan! Kiky, boneka besar pemberian ibuku, kubiarkan tergeletak jauh di hadapanku.


AKU iri melihat Ani, kakakku, yang sedang berteriak ramai bersama Ira, Lia, Tia, dan anak lainnya. Mereka main loncat tinggi. Permainan yang paling kusukai. Karena di antara teman-temanku akulah yang paling jago. Setinggi apapun karet yang direntangkan aku selalu berhasil melampaui. Maksudku tentu saja setinggi ukuran anak-anak seusiaku. Kemarin pun aku berhasil melampaui rentangan karet yang sama tingginya dengan tinggi ibuku. Setelah kulampaui aku baru tahu bahwa Tia yang mendapat giliran memegang karet berdiri di ujung jari kakinya sehingga tingginya bertambah beberapa senti. Anak-anak lain meneriaki Tia yang bermain curang. Mungkin karena kesal dan bosan memegangi karet terus, maka Tia mencoba berbuat curang agar aku segera kalah. Sampai permainan selesai aku tidak juga mendapat giliran memegang karet. Enak saja aku memandangi anak-anak yang menggerutu karena tidak bisa melampaui ketinggian karet yang direntangkan.


Tetapi sekarang aku enggan untuk ikut bermain dengan mereka. Soalnya sekarang aku lagi ngambek.


Terdengar teriakan Ira yang ditujukan pada kakakku. Aku tersenyum. Rupanya kali ini juga kakakku tak bisa melampaui. Tentu sekarang Ira tertawa kesenangan karena kini gilirannya untuk berlompat-lompatan.


Aku mencoba melongokkan kepala melihat anak-anak itu. Tetapi, uff... dari jauh aku melihat Ibu menjinjing keranjang yang berisi penuh barang belanjaan. Kupeluk bonekaku lalu menyelinap masuk sebelum Ibu melihatku.


Terdengar langkah kaki masuk. Kemudian suara benda yang diletakkan di atas meja.


"Bu, kue lapis pesananku," Ani tiba-tiba masuk. Aku kaget. Baru kuingat bahwa tiap hari Minggu Ibu selalu membeli kue lapis kegemaranku.


"Nih, satu untuk Ani, satu lagi untuk Ati," ujar Ibu. "Mana Ati?" Mungkin Ibu heran tidak melihat kehadiranku. Aku ragu-ragu mendengar panggilan Ibu. Hari ini, kan aku sedang ngambek pada Ibu.


"Nggak tahu!" kudengar kakakku menjawab. Suaranya tidak begitu jelas. Mulutnya pasti penuh kue lapis itu.


Perlahan aku keluar sambil memegangi Kiky erat-erat. Sebetulnya aku masih ngambek pada Ibu. Karena kemarin Ibu memarahiku. Gara-gara telur yang kujatuhkan. Padahal nggak sengaja. Sungguh! Tetapi kalau aku tidak keluar pasti Ibu memberikan kue bagianku pada kakakku. Maka dengan muka cemberut kuhampiri Ibu.


Ibu menoleh, "Ini, untukmu," Ibu menyodorkan kue. Masih dengan muka cemberut aku menerima kue itu.


"Kalau mulutnya cemberut, kuenya masuk lewat mana?" Kakakku geli melihat kejudesanku, Ibu tertawa. Aku mendelik. Huh, sebal! Rasanya ingin kulempar kue itu. Tetapi sayang, kue itu kan enak. Cepat aku keluar. Aku berniat menghabiskan kue itu di beranda.


"Ibu mau masak apa?" Sayup-sayup suara Ani terdengar. "Ibu mau membuat kue," jawab Ibu, "Ibu tadi sudah beli telur lagi." Lalu terdengar suara pembungkus makanan yang dirobek.


Sambil memakan kue aku berpikir. Pantas ibu menyayangkan telur-telur yang kujatuhkan. Rupanya telur itu untuk membuat kue, agar kami tidak jajan di luar.


Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam hatiku. Aku ingin membantu Ibu membuat kue-kue itu. Tetapi aku merasa malu karena seharian ini aku tidak bersikap ramah pada Ibu.


Kututup pintu depan perlahan sekali. Ragu-ragu aku menghampiri tempat Ibu berada.


"Ini untuk sayur lodeh," suara Ibu makin dekat terdengar.


"Daun melinjo, kelapa, wuluh. Lho, ini apa, Bu?" Ani menata belanjaan yang dikeluarkan.


"Namanya laos," jawab Ibu, "Nah, sekarang bantu Ibu membuat sayur ini."


"Kelapa diparut," ujar Ani. Aku tersenyum mendengar ocehan kakakku. Kalau ibu membuat sayur lodeh, aku yang selalu mendapat bagian memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Jari-jariku tak pernah lagi ikut terparut.


"Hm, persediaan bawang gorengnya habis," ujar Ibu, "Ti, Ati, bantu Ibu."


Perlahan aku muncul di pintu dapur. Kesempatan yang baik. Ibu membutuhkan bantuanku.


"Beli bawang merah sana. Ini uangnya."


Kuterima uang dari tangan Ibu lalu berlari keluar.


"Kalau ibu memarahi kamu, itu tandanya sayang," terngiang-ngiang suara kakakku kemarin waktu Ibu selesai memarahiku. Kupikir kakakku berpihak pada Ibu, karenanya aku juga ikut sebal padanya. Sebagai protes aku melepas kepangan di rambutku. Biar ibu tahu bahwa hasil kepangan Ibu jelek.


Tanpa sadar aku merasa rambutku. Di situ tidak ada kepangan. Karena kemarin aku melepasnya.


Tiba-tiba aku merasa rindu dikepang oleh Ibu.


Sepulang dari warung Bik Irah aku berdoa, mudah-mudahan Ibu mau mengepang rambutku nanti sore seperti biasanya.


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

Sabtu, 05 November 2011

GARA-GARA SAKIT GIGI

Dokter Rosarito sedang menaikkan tirai jendela ruang prakteknya, ketika tiba-tiba ada seorang pria membuka pintu dengan kasar. Pria bertubuh tinggi besar dengan wajah brewok, berdiri di ambang pintu. Lelaki itu ternyata seorang penjahat paling berbahaya di kota Roma.


SAYA ingin berobat, Dok. Gigi saya sakit sekali! Sekarang juga Dokter harus merawat gigi saya. Saya akan membayar tinggi untuk Anda," kata pria itu sambil memegang salah satu pipinya yang bengkak. Sesaat sang Dokter memperhatikan wajah pria di hadapannya, kemudian katanya, "Maaf, tetapi Anda harus menunggu ...."


"Jangan biarkan saya menunggu, Dokter!" katanya cepat. Salah satu tangannya merogoh saku jas. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sepucuk pistol. "Saya tak ingin membuat kesulitan pada Anda," katanya dengan sorot mata tajam. "Tetapi jika terpaksa ..."


"Anda akan membunuhku? Seperti yang Anda lakukan terhadap dokter penjara, Saudara Camulpo?" sahut Dokter Wanita itu.


Pria itu nampak terkejut.


"Jadi Anda telah mengenalku, Dokter?"


"Ya. Wajah Anda terpampang di halaman surat kabar di kota ini. Dan Anda melarikan setelah membunuh dokter penjara," kata sang Dokter berusaha tetap tenang.


"Baiklah, itu memang benar," kata Camulpo kemudian. "Kupikir ada baiknya Anda mengetahui siapa diriku ini. Sekarang, bersiaplah untuk mencabut gigiku. Aduh ... Aduh ..."


Dokter Rosarito berdiri tanpa melakukan sesuatu yang diminta penjahat itu. Sebenarnya ia merasa iba melihatnya. Tetapi, bila ia mengingat, bahwa orang yang dihadapannya itu penjahat yang berbahaya bagi penduduk kota Roma, maka ia memendam perasaan itu.


"Mengapa Anda hanya berdiri saja?" bentak Camulpo. "Cepat kerjakan perintahku!" Pistolnya ditodongkan ke arah dada sang Dokter.


Sang Dokter hanya tersenyum, kemudian mulai menyiapkan peralatan prakteknya. Sementara Camulpo mengikuti gerak-gerik sang Dokter dengan ujung laras pistolnya.


"Silakan Anda duduk disini," kata sang Dokter sambil memegang jarum suntik. "Anda akan saya suntik dahulu, agar sakit giginya hilang. Kemudian saya akan mencabut gigi Anda."


Dengan patuh Camulpo menuruti perintah Dokter Rosarito. Namun, pistolnya tetap ditujukan ke dada sang Dokter. Sementara sakit giginya sudah mulai hilang. Ya, Camulpo merasa giginya sudah tak sakit lagi.


"Nah, sekarang berbaringlah di sana," kata sang Dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur kecil, yang terletak di ruangan dalam. "Saya akan mempersiapkan alat-alat untuk mencabut gigi Anda."


Camulpo tersenyum senang, ketika melihat tempat tidur kecil itu. Nampaknya sangat nyaman, bila ditiduri. Selama sekian tahun Camulpo mendekam di penjara, tak pernah ia melihat tempat tidur yang begitu bersih, rapi dan empuk. Dan tentu saja ia tak menolak membaringkan tubuhnya di sana.


"Saya sudah siap, Dok," katanya sambil tersenyum senang. Pistolnya kemudian dimasukkan kedalam saku jas. Dokter Rosarito telah siap dengan alat pencabut gigi.


"Tetapi agak sedikit sakit," kata sang Dokter. "Karena itu Anda akan saya ikat, agar saya bisa bekerja dengan baik."


Mendengar ucapan sang Dokter, Camulpo menjadi berang kembali.


"Apa? katanya. "Jangan coba-coba menipuku, Dokter! Saya tahu Anda akan menyerahkan diri saya, jika saya sudah terikat. Cepat! Kerjakan tugas Anda! 
Saya tak akan berontak, hanya karena gigi saya dicabut. Mengerti!" kemudian Camulpo membaringkan diri kembali. "Ayo, cepat cabut gigi saya!"


Dan ia rupanya tak merasa sakit, ketika giginya sungguh-sungguh dicabut. Bahkan ia tetap berbaring tenang, hingga akhirnya tertidur. Dengan tenang, tanpa terburu-buru Dokter Rosarito membereskan peralatan prakteknya. Kemudian ia mengangkat telepon, yang terletak di atas meja kerjanya.


"Halo, di sini Dokter Rosarito. Harap segera datang kemari dengan ... Apa? Tidak usah banyak-banyak! Cukup satu atau dua orang saja. Ia sama sekali tidak berbahaya. Ya, ia sedang tidur nyenyak dan mungkin sedang bermimpi. Ia sudah kubius tadi. Terima kasih."


Beberapa saat kemudian, terdengar sirene mobil polisi datang. Dua perwira polisi muncul di ambang pintu. Mereka memperkenalkan diri sebagai petugas yang dikirim untuk menangkap buronan berbahaya itu. Dan mereka membawa Camulpo tanpa perlawanan sedikit pun. Sementara Dokter Rosarito memperhatikan mereka dengan perasaan lega. Tapi ia begitu ketakutan menghadapi Camulpo. Namun, ia berusaha tenang, hingga menemukan cara yang membuat si penjahat tak berdaya. Ya, seorang dokter pun bisa menangkap seorang penjahat tak berdaya. Ya, seorang dokter pun bisa menangkap seorang penjahat berbahaya dengan cara yang cukup sederhana.


Source: Majalah Bobo no. 50 - 19 Maret 1988

Kamis, 20 Oktober 2011

MEREKA MAU MEMAAFKAN

SEDIH sekali rasanya bila tidak punya teman. Hal seperti ini yang sedang dirasakan oleh Doni saat ini.


Di depan rumahnya, Doni sedang memperhatikan teman-temannya yang asyik bermain. Di halaman rumah Iwan sekelompok anak sedang bermain kelereng. Sesekali terdengar teriakan dan tawa mereka. Apalagi teriakan yang keluar dari mulut Agil. Anak ini memang periang sekali. Kalau bermain suka sekali melucu. Ini yang membuat teman-temannya senang padanya. Rasanya kalau tidak ada Agil permainan apapun jadi tidak seru.


Selain Agil dan Iwan, tampak juga Madi, Dian, Joko dan Arief.


Jarak antara rumah Doni dan rumah Iwan tidak terlalu jauh. Jarak yang berdekatan ini, membuat Doni dapat melihat dengan jelas kesibukan teman-temannya.


Doni menghela napas panjang. Ingin sekali ia ikut bermain bersama teman-temannya itu. Tetapi ia malu, karena kemarin baru saja ia berkelahi dengan Arief.


Waktu itu mereka sedang main kelereng. Arief menang. Tidak seperti biasanya, kali ini Doni kalah. Sejak kekalahan pertama, permainan Doni semakin kacau. Dengan gaya yang kocak Agil berkata, "Wah Arief hebat, nih. Yahut! Sekarang sih Doni nggak ada apa-apanya." Anak-anak yang lain tertawa.


Doni merasa semua mengolok-ngolok dirinya. Dengan cepat kemarahan Doni terpancing.


Suatu saat, ketika Arief mendapat giliran membidik, Doni dengan sengaja menahan kelereng Arief dengan kakinya. Tentu saja kelereng Arief tidak dapat mengenai sasarannya. Terjadilah pertengkaran kecil yang diakhiri dengan perkelahian. Doni pula yang memulai perkelahian itu. Anak-anak yang lain berusaha melerai.


"Kamu kok pemarah sekali sih, Don," kata Iwan.


"Jangan begitu dong Don, ini kan hanya permainan saja. Menang atau kalah sama saja. Kita kan sama-sama kawan," kata Dian menyatakan ketidaksenangan teman-temannya pada Doni.


Doni dalam tiap permainan memang dikenal selalu mau menang sendiri. Kini ia berdiri sendirian di pagar halaman rumahnya. Matanya menatap kosong ke depan. Ditahannya sekali lagi keinginannya untuk ikut bergabung bersama teman-temannya. Selain malu, ia juga takut kalau-kalau nanti teman-temannya akan mengusirnya bila ia datang.


Kini Doni menyadari kekeliruannya. Ia tahu kini bahwa ia tidak bisa bermain sendiri. Ia sadar bahwa ia membutuhkan teman-temannya.


Ia tahu juga, bahwa sifatnya yang pemarah dan selalu mau menang sendiri sangat merugikan dirinya sendiri.


"Hei Don. Sedang apa kau?" tanya Iwan tiba-tiba.


"Jangan suka melamun, nanti cepat tua," kata Agil. Semua anak tertawa.


Doni seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Di hadapannya sudah lengkap teman-temannya yang tadi sedang bermain kelereng.


Arief maju ke depan, lalu mengulurkan tangannya.


"Maafkan aku, Doni. Kita lupakan saja peristiwa kemarin."


"Seharusnya akulah yang minta maaf pada kalian. Terutama padamu Arief," jawab Doni menahan keharuan.


"Untuk persahabatan kita semua, ayo kita ke lapangan. Kita rayakan dengan main bola sama-sama," kata Joko bersemangat. Di tangannya sudah ada sebuah bola kaki. Yang lain mengikutinya berjalan menuju lapangan.


Agil menarik tangan Doni. Seperti robot, Doni mengikuti teman-temannya.


Hati Doni terenyuh. Tak disangka teman-temannya begitu baik padanya. Tidak ada rasa dendam sedikitpun. Ia kemudian memarahi dirinya sendiri yang tadi tidak berani datang meminta maaf terlebih dahulu. Saat itu pula, Doni berjanji akan menjadi teman yang baik bagi siapa saja.


Sumber: Majalah Bobo no.42 - 28 Januari 1989

Sabtu, 15 Oktober 2011

KETUA KELAS

Ulis dan Titi berjalan menyusuri sisi jalan. Hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah kembali setelah liburan panjang. Itulah yang membuat mereka berangkat agak pagi, biar cepat tiba di sekolah.


MENYENANGKAN sekali akhirnya kita bisa berkumpul lagi dengan teman-teman," gumam Ulis.


"Tentu saja. Dan semoga di kelas lima ini suasananya akan bertambah menyenangkan. Kelas baru, wali kelas baru, dan ketua kelas baru," timpal Titi seraya tersenyum.


"Ketua kelas baru? Ah, aku lebih senang kalau Joko tetap menjadi ketua kelas. Waktu kelas empat kan dia menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas dengan baik," sergah Ulis. "Ti, apakah kamu berminat mencalonkan diri menjadi ketua kelas?"


Titi tertawa kecil mendengar pertanyaan sahabatnya. "Tidak. Masih banyak teman kita yang lebih baik dari aku. Asal tidak Windya saja yang menjadi ketua kelas," jawab Titi kemudian.


"Aku akan memilihnya kalau saja ia bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Kebiasaan yang ingin menang sendiri dan sombong itu ...."


Ucapan ulis terputus karena tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih berhenti mendadak di dekat mereka. Seraut wajah muncul dari jendela pintu mobil. Itu wajah Windya yang baru saja mereka bicarakan.


"Hei, kalian, ikut mobilku saja!" ajak Windya.


Ulis dan Titi saling berpandangan, agak ragu. Ini tidak biasanya Windya berbuat begitu. Dulu-dulu Windya selalu meluncur begitu saja dengan mobil antar jemputnya tanpa mau mengajak siapa pun.


"Nanti kesiangan," kata Windya lagi.


Mau tidak mau akhirnya Ulis dan Titi mau menerima ajakan Windya. Apalagi Windya sudah membuka pintu belakan mobil.


"Kemana saja kalian liburan?" tanya Windya membuka percakapan di dalam mobil.


"Aku liburan di rumah nenekku di Yogya," jawab Titi.


"Kalau aku ke rumah uakku di Cililin dekat Waduk Saguling," giliran Ulis yang menjawab.  "Kamu sendiri pergi ke mana?"


"Ah, aku diajak jalan-jalan ke Danau Toba oleh Omku yang ada di Medan. Nanti di sekolah saja kuceritakan, bagaimana pengalamanku di sana."


Ulis manggut-manggut. Sementara itu Titi masih bingung dengan perubahan sikap Windya.


"Jangan-jangan ada sesuatu yang direncanakan Windya," pikir Titi. Ah, tapi tidak baik berprasangka buruk. Siapa tahu Windya memang sudah berubah setelah liburan panjang.


"Kalian sudah siap dengan pemilihan ketua kelas nanti?" Windya melontarkan pertanyaan lain.


"Kami berdua cuma akan memilih saja."


"Bagaimana pendapat kalian kalau aku mencalonkan diri?" tanya Windya, membuat Ulis dan Titi terkejut.


"Siapa saja berhak mengajukan diri untuk jadi ketua kelas. Cuma hasilnya tunggu saja setelah pemilihan," Ulis menjawab mewakili Titi.


Windya tersenyum kecil. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Dua bungkus coklat yang diambilnya segera disodorkan kepada Ulis dan Titi.


"Kalian tentunya mau memilihku, bukan?" ucap Windya kemudian.


Ulis dan Titi tidak menjawab. Mereka memasukkan coklat pemberian Windya ke dalam tas. Mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di pintu gerbang sekolah. Itu berarti mereka harus bergegas turun.


Suasana di kelas baru mereka ternyata sudah ramai. Pagi itu mereka sengaja datang lebih pagi agar dapat mencari tempat duduk seperti apa yang mereka inginkan letaknya. Ulis dan Titi mendapat tempat di bagian tengah. Mereka memang selalu sebangku. Setelah meletakkan tas segera saja mereka bertegur sapa dengan teman-teman yang lain.


"Lihat Windya, dia mau menegur ramah siapa pun!" tunjuk Ulis.


"Biarkan saja. Seharusnya kita bersyukur."


"Dia juga memberikan coklat seperti yang dilakukannya kepada kita. Ah, kurasa dia juga meminta teman-teman kita agar memilihnya menjadi ketua kelas," ujar Ulis cemas.


"Tenang saja. Teman-teman kita tak akan terpengaruh oleh sebungkus coklat. Butuh waktu panjang buat Windya untuk meyakinkan teman-teman kita kalau ia pantas menjadi ketua kelas. Soalnya semua kan tahu bagaimana sifat Windya," hibur Titi.


Bersamaan dengan itu terdengar bunyi bel masuk. Semua sisa kelas lima masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian masuk Bu Purwanti, guru Bahasa Indonesia. Dialah yang akan menjadi wali kelas di kelas lima.


Setelah sebentar bercakap-cakap, akhirnya Bu Purwanti memutuskan untuk segera diadakan acara pemilihan ketua kelas. Langsung saja kelas menjadi gaduh. Tiga calon segera diputuskan, Mereka adalah Joko, Andi, dan Windya. Ketiga calon itu terlebih dahulu diminta untuk berbicara di depan kelas sebentar.


"Saya harap teman-teman mau memilih siapa yang paling pantas menjadi ketua kelas," demikian Andi berkata, ia mendapat giliran pertama.


"Sudah dua kali saya menjadi ketua kelas. Dan jika saya terpilih lagi, maka saya akan berusaha lebih baik dari sebelumnya," ucap Joko yang mendapat giliran kedua. Semua bertepuk tangan mendengar kata-kata Joko.


"Seandainya saya terpilih jadi ketua kelas, maka saya akan memimpin kelas ini dengan baik. Kelas ini akan paling menonjol di antara kelas-kelas yang lain," ucap Windya diiringi seruan-seruan gaduh teman-temannya.


Pemilihan pun segera dilakukan. Satu persatu seluruh isi kelas lima memberikan suara mereka untuk memilih siapa dari ketiga calon itu yang berhak menjadi ketua kelas. Hasilnya Joko mengumpulkan suara terbanyak, disusul oleh Andi. Terakhir Windya yang tidak mendapat satu suara pun.


Karuan wajah Windya menjadi pucat. Padahal di rumah tadi ia sudah membayangkan dirinya menjadi ketua kelas. Pikirnya, teman-temannya akan memberikan suara untuknya. Bukankah Windya tadi sudah memberi masing-masing temannya sebungkus coklat?


"Lihat sendiri, Ulis, teman-teman kita sudah tahu kok siapa yang terbaik dan pantas dipilih menjadi ketua kelas," bisik Titi kepada sahabatnya.


Mereka sama-sama tersenyum.


Sumber: Majalah Bobo, no.19 Tahun XVII - 19 Agustus 1989

Kamis, 06 Oktober 2011

PENCURI ITU

Petang selalu indah. Bumi terasa sejuk dan angin bertiup terus-menerus, menyapu rerumputan serta jalanan dan mempermainkan dedaunan. Sinar yang menembus jendela tampak kuning redup, jatuh di dinding dan lantai berbentuk garis-garis, membentuk garis-garis, membentuk bayangan.


JALANAN agak sepi. Biasanya petang ini truk Pak Ampul merangkak pulang dengan derumnya yang kecapaian. Dan biasanya aku suka berlari ke pagar, melambaikan tangan kepada sopir yang berwajah berewokan, letih tapi jenaka.


Pak Ampul hidup hanya berdua dengan istrinya. Mereka tak punya anak. Mungkin karena itu mereka amat sayang kepadaku. Apabila aku bermain ke rumah mereka, Bu Ampul suka menceritakan dongeng yang bagus-bagus. Aku sendiri anak tunggal.


Petang ini sudah bertambah larut, tetapi Pak Ampul belum juga kelihatan. Mama sudah lima kali mondar-mandir dan setiap kali menoleh kepadaku.


"Ada yang kautunggu, Tun?" tanya Mama.


Pertanyaan yang biasa.


"Daripada duduk menganggur, lebih baik kau ambil buku yang dibelikan Papa kemarin."


Aku turun dari kursi dekat jendela, melangkah ke kamar. Kuambil buku bersampul indah itu dari meja. Kemudian aku kembali ketempat semula. Mama telah pergi ke belakang.


Buku yang bagus. Tentang seorang anak yatim piatu yang menjadi masyhur. Betapa sengsara hidupnya, tetapi ia tabah bekerja keras disertai kejujuran. Ketika hampir separuh buku telah kubaca, jendela telah meremang --- langit temaram. Sebelum aku menutup tirai, kutatap ujung jalan yang sudah gelap. Pak Ampul belum muncul juga. Mengapa?


Makan malamku terasa kurang enak.


"Kenapa tidak dihabiskan. Tun?" ujar Mama.


Aku cuma menggeleng.


"Kenapa?"


"Kau, tidak sakit kan, Tun?" tukas Papa.


Lagi-lagi aku cuma menggeleng, diam.


Tiba-tiba kami terdiam. Ada ketukan di pintu.


Papa beranjak ke sana, dan aku di belakangnya. Sedangkan Mama membersihkan piring.


"Oh, Pak Ampul?" kata Papa setelah membuka pintu.


Aku menyelinap di belakang Papa. Ya, Betul itu Pak Ampul. Ia tidak sendirian. Seorang anak yang kurang lebih seumur denganku ada di sampingnya. Anak itu agak hitam, kurus dan kurang bersih kelihatannya. Dan aku merasa pernah melihatnya, tapi dimana?


"Mari masuk, Pak, dan ini?"
Papa bicara dengan nada bingung.


Pak Ampul tertawa. Tampaknya ia hendak mengabarkan sesuatu. Kami pun duduk. Tak lama kemudian Mama ikut duduk.


"Hari ini saya pulang terlambat," kata Pak Ampul memulai pembicaraannya. "Tanpa mobil truk, tetapi bersama Ipu. Ah, ceritanya, siang tadi aku sedang ngebut, maklum udara panas dan aku capek sekali. Eh, ada yang menyeberang jalan dengan berlari. Untung aku masih sempat membanting setir ke kiri. Mobilku rusak sedikit, karena menerobos semak-semak. Si penyeberang yang sembrono itu selamat. Ternyata penyeberang itu seorang anak kecil, anak yang malang."


Suasana hening sejenak. Rupanya tak ada yang berniat memotong cerita Pak Ampul. Sementara itu aku tengah berusaha keras mengingat-ingat dimana aku pernah melihat anak ini.


"Kasihan, ayah ibunya sudah meninggal," lanjut Pak Ampul, "dan Ipu luntang-lantung tanpa kasih sayang. Ah, biarlah truk tua itu mampir di bengkel, asal kami mendapat seorang anak."


"Bu Ampul sudah diberitahu?" tanya Mama.


"Iya, dan sekarang ia sedang menyiapkan kamar buat Ipu."


"Tentu Bu Ampul sangat bahagia," ujar Papa.


"Oho, iya! Dia bilang Ipu cakep sekali!"


Semua tertawa, kecuali aku dan Ipu sendiri. Dan tiba-tiba aku nyaris memekik, karena aku ingat sekarang. Aku pernah melihat dia dipasar, mencuri sepotong roti! Untung dia cuma di jewer oleh si tukang roti. Ah, tetapi ia ditampar satu kali oleh seseorang yang menangkapnya, ketika sedang berlari. Ya, betul, begitulah kejadiannya. Kutatap Ipu tajam-tajam diluar sadar. Dan ternyata Ipu merasakan tatapanku itu berkaca-kaca seolah memohon. Lalu ia terisak-isak.


"Ada apa, Ipu?" tanya Pak Ampul, Mama dan Papa berbareng.


Ipu semakin tersedu.


"Ya, saya mengaku, saya mengaku," katanya.


Lalu ia memandangku. Aku rasa Ipu mengingat kejadian itu, dimana aku mengatakan kepadanya, bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Tetapi saya lapar, Kak," katanya padaku.


Untuk memperjelas persoalan, aku menceritakan kejadian tersebut pada Pak Ampul, Papa dan Mama.


"Lupakanlah, Nak," bujuk Pak Ampul sambil memeluknya.


Mama meraih tangan Ipu. Katanya, "Meskipun kau pernah mencuri, tapi kau anak yang jujur. Berbuat salah tak apa-apa, asal tidak diulangi."


Saat itu aku telah sekali, membuatnya bersedih. Aku tercenung diam. Kurasa Mama benar, Ipu anak yang jujur. Ia mencuri semata-mata karena kelaparan.


"Ipu, aku senang ketemu kau lagi," itu saja ucapanku.


Saat itulah muncul Bu Ampul, mengajak suaminya dan Ipu pulang, karena makan malam sudah tersedia.


Source: Majalah Bobo, no.48 - 5 Maret 1988

Minggu, 02 Oktober 2011

PETUNJUK YANG TAK TERDUGA

MUSIBAH ITU menimpa keluarga Serusi di Italia. Malam itu akan diputar film koboi. Oleh karena itu Giovani Serusi, putera sulung keluarga Serusi yang baru berumur 9 tahun, boleh menonton film itu.


Acara sebelum film koboi adalah film dokumenter yang mendemonstrasikan pemijatan jantung oleh seorang dokter kepada seorang yang pingsan.


Ibu Giovani heran sekali melihat Giovani yang begitu tekun mengikuti acara di layar televisi. Tidak seorang pun mengira bahwa seluruh perhatian yang ia curahkan ketika itu akan menolong jiwa ibunya keesokan paginya.


Pagi harinya sebelum berangkat ke sekolah, Giovani mengerjakan soal-soal matematika. Sesudah selesai mengerjakan soal-soal itu, ia memeriksa lagi PR-nya sambil sarapan pagi. Sebab siang nanti ia sudah harus menyerahkan PR-nya itu kepada guru matematikanya.


Sambil memakan rotinya, Giovani berkata kepada ibunya, "Bu, tolong periksa pekerjaanku ini." Tetapi tidak ada jawaban dari ibunya. Ia kemudian mengulangi permintaannya. "Bu, tolong periksa pekerjaan ini sekarang, sebab aku ingin berangkat lebih awal."


Karena kesal. Giovani berteriak sambil menengok ke belakang.


"Bu!" Alangkah terkejutnya Giovani saat itu melihat ibunya duduk dengan mata terbelalak sambil memegang cangkir di tangan kiri dan tangan kanannya memegangi dadanya sebelah kiri. Air mukanya memancarkan perasaan was-was. Akhirnya, ia jatuh dan kejang-kejang.


Ibu Giovani yang bernama Elena Serusi, jatuh tepat di depan kaki putera sulungnya. Giovani yang tadi merasa kesal berubah menjadi panik, ia berteriak,


"Bu, ada apa?"


Dalam kebingungannya, ia mengambil segelas air dan memaksa ibunya untuk minum. Tetapi ibunya tetap diam saja. Muka ibunya tampak putih pucat. Giovani mengira ibunya akan mati.


Kemudian dengan tidak terduga-duga lebih dahulu, terbayang dengan jelas sekali, gambar dokter di televisi kemarin malam yang sedang mendemonstrasikan cara memijit jantung yang sekonyong-konyong berhenti. Giovani segera berpikir, aku harus bertindak juga!


Segera ia menyuruh adiknya menyingkir dan memberi perintah, "Cepat panggil Bibi!"


Dengan cepat sekali tangan-tangan kecil Giovani bergerak memijit-mijit dada ibunya, seperti yang dilakukan oleh dokter di televisi kemarin malam. Selalu mengiang di dalam benaknya kata-kata dokter kemarin malam, "Tekan bagian tengah dada dan lepaskan kembali. Kerjakan itu terus-menerus. Jangan putus asa."


Menit-menit berlalu dengan cepat, tetapi Giovani tanpa merasa lelah sedikit pun terus mengerjakan perintah dokter di televisi kemarin malam. Tetapi ibunya bergerak sedikit pun juga.


Lutut dan pergelangan tangan Giovani sudah mulai gemetar. Sakit rasanya, seperti akan kejang. Namun demikian Giovani tidak berhenti. Ia berpikir, kurasa aku tidak salah memijitnya.


Baru sesudah kurang lebih 20 menit ada gerakan di dada ibunya dan terasa makin lama makin jelas denyut jantung itu. Kemudian terlihatlah ibunya mulai bernapas dengan teratur.


Sebagai putera sulung, walaupun baru berumur 9 tahun, Giovani merasa bertanggung jawab atas keselamatan ibunya. Kembali terngiang-ngiang kata-kata dokter di televisi kemarin malam.


"Walaupun sudah terlihat gerakan jantungnya, tetap harus dibawa ke rumah sakit! Giovani lari menuruni rumahnya sambil berteriak pada bibi dan adiknya yang ia jumpai di tangga.


"Ibu hidup kembali!"


Giovani segera menghentikan mobil yang lewat di depan rumahnya.


"Tolong, Pak, Ibu saya harus segera dibawa ke rumah sakit."


Untunglah Bapak itu mau menolong. Ia lari mengikuti Giovani menaiki tangga rumah. Ibu Giovani diselimuti, lalu dibopong ke mobil.


Dengan satu tangan memegang kemudi mobil dan satu tangannya lagi menekan klakson mobil terus-menerus, bapak itu melarikan mobilnya cepat sekali. Meskipun demikian rasanya lama sekali baru tiba di rumah sakit. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit Nuoro di Sardinia. Ibu Giovani diserahkan kepada dokter.


Sekarang perjuangan melawan maut diambil alih oleh para dokter rumah sakit. Giovani duduk di sudut ruan tunggu dengan hati berdebar-debar. Baru sekarang terasa sakit pada lutut dan pergelangan tangannya. Ia merasa kesepian. Pikirnya, saya harus pulang memberi tahu Bibi dan adik-adik serta harus menelepon Ayah yang berada di luar kota. Ya Tuhan, tolonglah ibuku. Sembuhkanlah ibuku. Aku berjanji akan selalu berlaku baik terhadap Ibu dan selalu mengerjakan PR-ku dengan baik."


Bertepatan dengan akhir doa Giovani, keluarlah seorang perawat dari kamar ibunya. Ia menghampiri Giovani sambil berkata lembut.


"Kemungkinan ibumu sembuh besar sekali. Tetapi sekarang kamu harus pulang dan beristirahat. Ibumu masih harus tinggal di rumah sakit beberapa hari lagi. Besok kamu boleh datang lagi menengok ibumu."


Dengan perasaan lega Giovani pulang.


Keesokan harinya Giovani sudah berada di tepi pembaringan ibunya. Ibu Giovani membuka matanya, menyuruh Giovani mendekat. Diciumnya pipi Giovani. Terasa hangat air mata ibunya membasahi pipi Giovani. Giovani mendekap ibunya sambil berkata, 


"Ibu sembuh kembali, bukan?"


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988



Rabu, 21 September 2011

KETIKA MENIK HARUS NAIK BUS

ADA mendung pagi-pagi. Bukan di awan tetapi di wajah Menik. Mendung itu tiba-tiba saja meliputi wajah Menik ketika Papa berkata, "Pagi ini kamu naik bus saja, ya. Mobil Papa rusak, jadi tidak bisa mengantarmu ke sekolah."


"Uah! Mana tahan," Menik mengeluh. Hampir saja air mata menitik di pipinya. Apa kata teman-temannya nanti bila melihat dia naik bus? Bukan cuma itu. Naik bus tentu sangat tidak menyenangkan karena harus berdesak-desakan dengan orang banyak. Belum lagi mesti menunggu lama di pemberhentian bus. Huuuh, kenapa sih Papa tidak menukar mobil mereka dengan yang baru saja agar tidak sebentar-sebentar mogok.


"Aduh!"


Menik tersadar ketika dia merasa telah menubruk sesuatu. Rupanya karena jalan sambil melamun dia tidak melihat seorang anak yang sedang menjajakan kuenya.


"Oh, maaf, ya," katanya buru-buru. Lalu dia berjongkok untuk memunguti kue-kue yang jatuh.


"Sayang kuenya sudah kotor. Biar kuganti saja. Berapa harganya?" katanya sambil merogoh tasnya.


"Tidak usah, Nik. Cuma empat buah pisang goreng saja, kok. Dengan teman, berkorban dua ratus tidak apa-apa, kan? Apalagi aku tahu kamu tidak sengaja," kata anak itu buru-buru mencegah Menik.


Menik jadi melongo keheranan karena anak itu ternyata mengenalnya.


"Kamu kok tahu namaku?" tanyanya bingung.


Anak itu tersenyum. "Kita kan teman satu sekolah. Cuma aku di kelas lima A, sedang kamu di kelas lima B," jawabnya.


"Oooo. Maaf, lho. Aku tidak tahu," kata Menik malu. "Jadi kamu tidak sekolah hari ini?"


"Tentu saja sekolah. Aku selalu berjualan kue setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Lumayan untuk membiayai sekolahku. Maklum saja, orang tuaku cuma tukang minyak keliling. Tidak seperti ayahmu."


"Ah," Menik jadi malu, karena seolah dituduh sombong oleh anak itu.


"Rumah kamu dimana?" tanyanya.


"Situ. Persis di belakang rumah kamu. Kalau mau ke rumahku harus melewati gang kecil yang ada di samping rumahmu itu."


"Ah, Menik jadi tidak enak hati karena ternyata dia tidak tahu kalau di belakang rumahnya ada rumah teman sekolahnya.


"Kamu sih tidak pernah keluar rumah. Kalau ke sekolah juga selalu diantar jemput dengan mobil. Jadi mana bisa kenal dengan teman-teman yang lain. Padahal di dekat rumah kamu banyak lho teman kita. Tunggu saja lima menit lagi, mereka pasti datang berbondong-bondong ke sini untuk menunggu bus. Bahkan sebagian berjalan kaki. Termasuk juga aku."


"Kamu jalan kaki ke sekolah?" tanya Menik takjub. Bayangkan, jalan kaki sejauh satu kilometer lebih! Dia disuruh jalan kaki dari rumahnya ke tempat perhentian bus ini saja sudah menggerutu sepanjang jalan. Apalagi kalau disuruh jalan kaki ke sekolah. Setiap hari pula. Dan pulang pergi. Uiihhh!!! Mana tahan!!


"Enak lho jalan kaki ramai-ramai. Banyak pemandangan yang dilihat. Bisa tukar pengalaman dengan teman-teman selama dalam perjalanan dan juga membuat badan kita sehat dan tidak malas. Wah, maaf, ya. Aku jadi kebanyakan ngomong. Padahal aku harus buru-buru pulang. Ganti pakaian lalu berangkat ke sekolah," kata anak itu lalu mulai melangkah.


"Hai, aku belum tahu nama kamu!" seru Menik cepat-cepat sebelum anak itu jauh.


"Wiwit!" jawab anak itu. Lalu dia melangkah lagi. 
"Tunggu!" panggil Menik lagi. Terpaksa anak itu menghentikan langkahnya.


"Ada apa lagi?" Nanti aku kesiangan."
"Aku boleh ikut jalan kaki bersama kamu?"


Anak itu tertegun. Kemudian dia bertanya dengan nada tidak percaya. "Kamu mau jalan kaki?"


Menik mengangguk. "Boleh, kan?"


"Boleh saja. Asal kamu tidak mengeluh kecapekan saja. Tunggu aku lima menit lagi!" anak itu lalu berlari meninggalkan Menik yang mulai merasa lega karena pagi ini bisa mendapatkan pengalaman baru. Selama ini dia tahunya cuma duduk di mobil dari rumah hingga ke sekolah. Dia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya berjalan kaki ke sekolah.


Ternyata jalan kaki beramai-ramai menyenangkan sekali. Tidak seperti bila duduk di mobil. Berdiam diri saja selama dalam perjalanan. Sebab tidak ada yang akan diajak ngobrol atau bergurau. Paling-paling Pak Sopir yang bertanya, "Nanti di jemput jam berapa, Neng?"


Oh, dia tidak lagi menyesali Papa karena disuruh naik busb pagi ini. Dia malah bersyukur karena mendapatkan banyak teman hari ini. Baginya hari ini begitu ceria. Penuh senda gurau dan gelak tawa. Menik yang selama ini jarang tertawa, kini ikut-ikutan tertawa, sehingga Wiwit berkata, "Kamu cantik lho kalau sedang tertawa."


Menik jadi kaget dipuji begitu. Dia menghentikan tawanya.


"Iiiih, kamu melebih-lebihkan saja," katanya sambil mencubit tangan Wiwit dengan gemas. "Padahal yang cantik itu kamu, kan?"


"Kalau itu sih dari dulu juga aku tahu. Kalau aku tidak cantik mana mungkin jualan kueku laris. Haa ... haaa ... haaa ..." kata Wiwit tertawa lebar. Nampaknya dia tidak merasa malu sedikit pun karena harus berjualan kue. Dan teman-temannya pun tidak ada yang menganggap Wiwit lebih rendah dari mereka karena Wiwit berjualan kue. Mereka malah meledek Wiwit dengan "Wuayo! Ge-er tuh!!"


Menik merasa mendapat banyak pengalaman pagi ini. Hari yang menyenangkan baginya. Dan satu tekad mulai tertanam di hatinya. Mulai besok aku akan jalan kaki bersama mereka. Nah, selamat jalan kaki, Menik!


Sumber: Majalah Bobo, no. 51 - 1 April 1989

Selasa, 20 September 2011

SURAT UNTUK PAMAN

UNTUK sementara waktu, Ayah harus istirahat. Ia tidak boleh bangun dari ranjangnya. Sedang Ibu nampak begitu repot. Sebab selain merawat Ayah yang sakit, Ibu kini mengganti tugas ayah mencari uang. Untung ada juga ibu-ibu yang menjahitkan pakaiannya pada Ibu. Lalu, Ibu pun lupa menulis surat untuk Paman.


Karena Ibu semakin sibuk dan tak punya waktu sedikitpun untuk menulis surat, maka Dino disuruhnya untuk menulis surat. Dino saat itu baru kelas IV SD. Sekali pun dia belum pernah menulis surat.


"Dino belum mampu, Bu! kata Dino beralasan.


"Semua kan harus di coba, Din! Pekerjaan apa pun sulitnya harus dicoba. Kalau belum apa-apa sudah bilang tak mampu. Bagaimana akhirnya kau bisa menulis surat?" kata Ibu menasihati.


"Kan lebih baik Ibu. Tulisan Dino masih seperti cakar ayam. Nanti kalau Paman tak mengerti kan repot juga!" elak Dino.


"Ibu semakin sibuk, Din! Cobalah, Ibu yakin, Dino bisa," kata Ibu memberi semangat.


Ibunya kemudian memberikan penjelasan mengenai pekerjaannya. Masalah yang ia hadapi dan sebagainya. Dino terdiam. Ia mulai berpikir. Kalau menolak perintah Ibu, tentu kasihan Ibu. Kata Pak Guru, tak baik menolak perintah orang tua.


"Baiklah kalau begitu, Dino akan menulis surat untuk Paman. Tapi bagaimana isi surat itu, Bu?" tanya Dino.


Ibunya yang sedang sibuk menjahit menjawab, "Katakan seperti keadaan kita saat ini ...."


Dino tak lama kemudian sibuk menulis surat. Satu, dua sampai tiga kali dirobeknya surat yang dibuat. Dino tak puas dengan isi surat dibuatnya. Memang tak gampang menulis surat, pikir Dino. Walau demikian ia tak putus asa. Setelah mengalami kegagalan, akhirnya Dino pun berhasil. Ia lega setelah suratnya selesai. Ibu tak perlu repot-repot menulis surat. Sebab pekerjaannya memang banyak menyita waktu.


Selang beberapa hari datang Pak Pos dan Wesel Pos ke rumah Dino. Surat itu balasan dari Paman.


"Bu, Bu .... surat dari Paman!" teriak Dino, memberikan amplop dan selembar wesel pos pada ibunya.


Sesaat ibunya menghentikan pekerjaannya. Setelah membuka amplop dibacanya surat dari paman Dino itu. Betapa ibu Dino tercengang setelah selesai membaca.


"Aduh, Dino ... Dino ..." seru Ibunya, "Kau bilang apa pada pamanmu?" kata Ibu penuh penyesalan.


"Ya, Dino bilang seperti keadaan kita waktu Ayah sakit!" kata Dino polos.


"Ya, ampun!" seru ibunya malu, karena paman Dino mengirim sejumlah uang. Padahal maksud Dino, supaya paman Dino itu datang dan menggantikan pekerjaan Ayah untuk sementara waktu.


"Dino kan tahu, pamanmu lagi menganggur sekarang! Jadi .... tentu saja ia tak punya uang. Dan wesel itu ... 




Bersambung

Sabtu, 10 September 2011

KARIM, JURU MASAK ISTANA

Pak Karim adalah juru masak istana. Ia amat pandai memasak. Masakannya lezat. Raja amat menyukainya.


PADA suatu hari satu perangkat pisau kerajaan hilang. Raja menuduh Pak Karim yang mengambilnya. Sebab, dialah yang bertanggung jawab atas peralatan dapur istana.


"Kenapa kau mengambilnya, Karim?" tuduh Raja.


"Hamba tidak mengambilnya Paduka. Sungguh....." jawab Pak Karim ketakutan.


Raja sudah terlanjur murka. Sebab, pisau itu adalah benda kesayangan istrinya. Raja akan menghukum Pak Karim. Tetapi mengingat jasa Pak Karim, Raja tidak memenjarakannya. Raja hanya mengusir Pak Karim dari istana.


Pak Karim amat sedih. Ia tak berani tinggal di kota. Orang-orang pasti ikut-ikutan menuduhnya sebagai pencuri.


"Kenapa Raja bisa sekejam ini padaku. Raja benar-benar tak mau mempercayai penjelasanku," gumam Pak Karim sedih.


Pak Karim berkelana dalam hutan. Ia makan apa saja yang ada disitu. Buah-buahan dan sayur-sayuran. Beberapa hari kemudian, ia sampai di sebuah sungai. Tepi sungai itu ditumbuhi tanaman bambu yang rimbun. Pak Karim beristirahat di bawahnya. Perutnya mulai lapar. Tetapi, ia tak menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Tangannya mencongkel tanah yang gembur di dekatnya. Ia menyentuh batang bambu muda. Ia mengupas kulitnya. Dagingnya berwarna kuning.


"Mungkin bambu muda ini bisa kuolah menjadi makanan," gumamnya.


Pak Karim mulai memasak. Berkat pengalamannya, bambu muda itu dapat diolahnya mejadi sayuran lezat.


Di istana, Raja duduk dengan wajah muram. Ia menyesal telah mengusir Pak Karim. Pak Karim tidak bersalah. Rajalah yang bertindak gegabah. Pisau yang hilang itu sebenarnya telah dihadiahkan kepada seseorang. Raja lupa telah memberikan benda itu. Untuk menebus kesalahannya, Raja memerintahkan pengawal untuk mencari Pak Karim. Tetapi, mereka tidak berhasil menemukan Pak Karim.


Raja rindu pada masakan Pak Karim. Juru masak yang baru tidak sepintar Pak Karim. Raja bosan memakan masakan yang dihidangkan. Karena ingin makan lezat, Raja sampai membuat sayembara memasak. Tetapi, tak seorang pun bisa menandingi keahlian Pak Karim.


Seorang pengawal menghadap tergesa-gesa.


"Paduka, ada restoran baru di kota ini. Masakannya lezat. Lebih-lebih yang disebut sayur rebung. Rakyat amat menyukainya. Mereka sampai antri kalau memesannya," lapor pengawal.


Raja langsung tertarik.


"Panggil juru masak restoran itu ke sini. Perintahkan untuk menghidangkan sayur rebung di istanaku ini," titah Raja.


Tak lama pengawal itu pun kembali. Ia membawa juru masak ke istana. Juru masak segera menyiapkan masakan istimewanya. Sayur rebung.


Raja mencicipi masakan itu.


"Hm, lezat!" seru Raja sambil mencicipinya. "Panggil juru masak itu untuk menghadapku!"


Juru masak muncul di hadapan Raja.


"Kau siapa? Sungguh lezat masakanmu!" puji Raja.


"Terima kasih, Paduka. Hamba gembira, Paduka menyukai masakan saya," ujar juru masak pelan.


Raja seperti pernah mengenal suara itu. Raja lalu mengamati orang itu dengan lebih cermat.


"Karim! Kaukah itu?"teriak Raja gembira.


"Ampun, Paduka. Hamba memang Karim!"


"Tengadahlah, Karim!" perintah Raja.


Pelan-pelan Karim mengangkat kepalanya.


"Karim, maukah kau kembali ke istanaku lagi?" tanya Raja penuh harap.


"Hamba tidak pantas menerima kebaikan Paduka."


"Jangan begitu, Karim. Kau tidak salah. Akulah yang gegabah. Aku menuduhmu tanpa mencari bukti terlebih dahulu. Kumohon, tinggallah di istanaku lagi," pinta Raja.


Pak Karim terharu mendengar pengakuan Raja. Ia tak tega menolak kebaikan Raja. Sejak saat itu, Pak Karim menjadi juru masak istana lagi. Dan, sayur rebung penemuannya amat disukai oleh Raja dan rakyatnya.


Sumber: Majalah Bobo, no.19 Tahun XVII - 19 Agustus 1989

Rabu, 07 September 2011

TIKA YANG MANIS

TIKA sudah mandi dan berdandan rapi ketika bertemu Nia. Rambutnya yang panjang diikat menjadi dua dengan pita merah. Bibirnya yang mungil tersenyum. Ia berjalan amat lincah. Dan roknya yang bagus melambai-lambai ditup angin. Nia iri sekali pada sahabatnya itu!


Memang dalam kehidupan sehari-hari Tika amat manis. Oleh sebab itu mama Nia selalu menyebut Tika sebagai gadis cilik yang manis.


"Coba lihat Tika! Nah, kelihatan manis kan?" kata Mama suatu hari. Ketika Tika datang bermain ke rumah Nia. Ketika itu Nia baru bangun tidur. Jadi Nia tak semanis Tika.


Sekarang Nia sudah mandi dan bersiap-siap ke rumah Tika. Kebetulan Tika sudah datang.


"Halo!" Sapa Nia. Tika tersenyum dan mendekati temannya. 


"Sudah siap?" tanya Tika.


"Sudah. Katanya Tika punya boneka baru ya?


"Iya!


"Siapa yang belikan?" tanya Nia.


"Beli sendiri dong!" jawab Tika, sambil tersenyum bangga.


"Kalau begitu Tika banyak duit ya. Dari mana uang sebanyak itu? Kan Tika tidak kerja?" tanya Nia penuh selidik.


"Yaaa ... dari menabung!" jawab Tika lincah.


Sesaat Nia berpikir. Selama ini Nia memang tak pernah menabung. Uangnya selalu habis untuk jajan disekolah.


"Kalau begitu Tika tak pernah jajan dong?" tanya Nia.


"Pernah!" jawab Tika. Matanya berbinar-binar melihat sahabatnya penasaran, 


"Tika juga jajan. Tapi tidak semua. Sebagian uang Tika ditabung."


"Oh! seru Nia baru mengerti, "Jadi Tika tidak membelanjakan semua uang saku?"


"Dong ... eh, iya dong!" jawab Tika jenaka. Mereka berdua tertawa.  "Yuk, ke rumah! ajak Tika setelah berbincang-bincang.


Gadis yang manis itu berlari kecil, diikuti oleh Nia dari belakang. Rok Tika melambai-lambai. Begitu pula rambutnya yang diikat rapi.


Pada waktu bermain-main boneka. Nia bertanya pada Tika.


"Kenapa rambut bonekamu di kuncir?"


"Supaya kelihatan manis dong!" jawab Tika.


"Kenapa ada sikat gigi juga!" tanya Nia.


"Supaya gigi bonekaku tetap sehat!" jawab Tika sambil mengayun-ayunkan bonekanya dengan sayang. Nia mengawasi temannya terheran-heran. 


"Apakah bonekamu kau mandikan juga? tanya Nia sambil menatap keheranan. Tika menatap temannya tak mengerti. Ia kemudian tersenyum dan jawabnya,


"Tidak sih! Nanti boneka Tika rusak."


"Tapi, kenapa Tika sediakan sikat gigi di sebelah tempat boneka itu?"


"Yaaa ... kata Mama biar Tika ingat selalu pada kebersihan. Berapa kali Nia gosok gigi?" Tika lalu bertanya.


"Satu kali!" jawab Nia.


"Wah!"


"Mengapa wah?" tanya Nia.


"Dua kali dong! Pagi dan malam sebelum tidur ..." Tika menjelaskan.


Nia terdiam. Ia ingat mamanya yang selalu memperingatkannya. Nia bertanya lagi. 


"Tika mandi berapa kali?"
"Ya dua kali!"
"Kalau begitu Nia salah," kata Nia terus terang. "Nia mandi cuma satu kali. Kalau Mama memandikan baru dua kali ..."


"Kalau begitu Nia salah," kata Nia terus terang, "Nia mandi cuma satu kali. Kalau Mama memandikan baru dua kali ..."


"Hiiii ...." Tika cekikikan. Geli melihat temannya, "Kenapa masih dimandikan?"


"Tika mandi sendiri?"


"Iya!"


"Kalau begitu Nia harus gosok gigi dua kali. Mandi sendiri. Apa Tika berdandan sendiri?"


Tika mengangguk, "Cuma kalau sulit ya dibantu Mama." jawab Tika bersemangat.


"Oh, begitu ya?!


"Iya!"


Nia tersenyum. Ia ingat mamanya yang selalu memberi nasihat supaya seperti Tika yang manis.


Sumber: Majalah Bobo, no.48 - 5 Maret 1988









Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting