Rabu, 09 November 2011

KALAU IBU MARAH TANDANYA SAYANG

Pagi itu aku bermain sendirian. Sepi dan membosankan! Kiky, boneka besar pemberian ibuku, kubiarkan tergeletak jauh di hadapanku.


AKU iri melihat Ani, kakakku, yang sedang berteriak ramai bersama Ira, Lia, Tia, dan anak lainnya. Mereka main loncat tinggi. Permainan yang paling kusukai. Karena di antara teman-temanku akulah yang paling jago. Setinggi apapun karet yang direntangkan aku selalu berhasil melampaui. Maksudku tentu saja setinggi ukuran anak-anak seusiaku. Kemarin pun aku berhasil melampaui rentangan karet yang sama tingginya dengan tinggi ibuku. Setelah kulampaui aku baru tahu bahwa Tia yang mendapat giliran memegang karet berdiri di ujung jari kakinya sehingga tingginya bertambah beberapa senti. Anak-anak lain meneriaki Tia yang bermain curang. Mungkin karena kesal dan bosan memegangi karet terus, maka Tia mencoba berbuat curang agar aku segera kalah. Sampai permainan selesai aku tidak juga mendapat giliran memegang karet. Enak saja aku memandangi anak-anak yang menggerutu karena tidak bisa melampaui ketinggian karet yang direntangkan.


Tetapi sekarang aku enggan untuk ikut bermain dengan mereka. Soalnya sekarang aku lagi ngambek.


Terdengar teriakan Ira yang ditujukan pada kakakku. Aku tersenyum. Rupanya kali ini juga kakakku tak bisa melampaui. Tentu sekarang Ira tertawa kesenangan karena kini gilirannya untuk berlompat-lompatan.


Aku mencoba melongokkan kepala melihat anak-anak itu. Tetapi, uff... dari jauh aku melihat Ibu menjinjing keranjang yang berisi penuh barang belanjaan. Kupeluk bonekaku lalu menyelinap masuk sebelum Ibu melihatku.


Terdengar langkah kaki masuk. Kemudian suara benda yang diletakkan di atas meja.


"Bu, kue lapis pesananku," Ani tiba-tiba masuk. Aku kaget. Baru kuingat bahwa tiap hari Minggu Ibu selalu membeli kue lapis kegemaranku.


"Nih, satu untuk Ani, satu lagi untuk Ati," ujar Ibu. "Mana Ati?" Mungkin Ibu heran tidak melihat kehadiranku. Aku ragu-ragu mendengar panggilan Ibu. Hari ini, kan aku sedang ngambek pada Ibu.


"Nggak tahu!" kudengar kakakku menjawab. Suaranya tidak begitu jelas. Mulutnya pasti penuh kue lapis itu.


Perlahan aku keluar sambil memegangi Kiky erat-erat. Sebetulnya aku masih ngambek pada Ibu. Karena kemarin Ibu memarahiku. Gara-gara telur yang kujatuhkan. Padahal nggak sengaja. Sungguh! Tetapi kalau aku tidak keluar pasti Ibu memberikan kue bagianku pada kakakku. Maka dengan muka cemberut kuhampiri Ibu.


Ibu menoleh, "Ini, untukmu," Ibu menyodorkan kue. Masih dengan muka cemberut aku menerima kue itu.


"Kalau mulutnya cemberut, kuenya masuk lewat mana?" Kakakku geli melihat kejudesanku, Ibu tertawa. Aku mendelik. Huh, sebal! Rasanya ingin kulempar kue itu. Tetapi sayang, kue itu kan enak. Cepat aku keluar. Aku berniat menghabiskan kue itu di beranda.


"Ibu mau masak apa?" Sayup-sayup suara Ani terdengar. "Ibu mau membuat kue," jawab Ibu, "Ibu tadi sudah beli telur lagi." Lalu terdengar suara pembungkus makanan yang dirobek.


Sambil memakan kue aku berpikir. Pantas ibu menyayangkan telur-telur yang kujatuhkan. Rupanya telur itu untuk membuat kue, agar kami tidak jajan di luar.


Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam hatiku. Aku ingin membantu Ibu membuat kue-kue itu. Tetapi aku merasa malu karena seharian ini aku tidak bersikap ramah pada Ibu.


Kututup pintu depan perlahan sekali. Ragu-ragu aku menghampiri tempat Ibu berada.


"Ini untuk sayur lodeh," suara Ibu makin dekat terdengar.


"Daun melinjo, kelapa, wuluh. Lho, ini apa, Bu?" Ani menata belanjaan yang dikeluarkan.


"Namanya laos," jawab Ibu, "Nah, sekarang bantu Ibu membuat sayur ini."


"Kelapa diparut," ujar Ani. Aku tersenyum mendengar ocehan kakakku. Kalau ibu membuat sayur lodeh, aku yang selalu mendapat bagian memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Kini aku sudah pandai memarut kelapa. Jari-jariku tak pernah lagi ikut terparut.


"Hm, persediaan bawang gorengnya habis," ujar Ibu, "Ti, Ati, bantu Ibu."


Perlahan aku muncul di pintu dapur. Kesempatan yang baik. Ibu membutuhkan bantuanku.


"Beli bawang merah sana. Ini uangnya."


Kuterima uang dari tangan Ibu lalu berlari keluar.


"Kalau ibu memarahi kamu, itu tandanya sayang," terngiang-ngiang suara kakakku kemarin waktu Ibu selesai memarahiku. Kupikir kakakku berpihak pada Ibu, karenanya aku juga ikut sebal padanya. Sebagai protes aku melepas kepangan di rambutku. Biar ibu tahu bahwa hasil kepangan Ibu jelek.


Tanpa sadar aku merasa rambutku. Di situ tidak ada kepangan. Karena kemarin aku melepasnya.


Tiba-tiba aku merasa rindu dikepang oleh Ibu.


Sepulang dari warung Bik Irah aku berdoa, mudah-mudahan Ibu mau mengepang rambutku nanti sore seperti biasanya.


Sumber: Majalah Bobo, no.37 - 24 Desember 1988

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...