Sabtu, 12 November 2011

TERLALU MENGHARAP PERTOLONGAN

LEGA hati Rani ketika ia keluar dari dalam bis yang pengab itu. Kini ia dapat bernapas dengan lega. Di hirupnya udara sepuas-puasnya ke dalam paru-parunya. Lalu di hembuskannya kembali keluar melalui lubang hidungnya.


Dipandanginya kedua tas bawaannya yang menggeletak dekat kakinya. Satu tas penuh berisi baju-bajunya. Satu tas lagi penuh berisi oleh-oleh buat Nenek.


"Uuh, berat juga," gumam Rani sambil mengangkat tas berisi baju. Disandangnya tas itu dipundaknya. Lalu tas yang satunya lagi dibawanya dengan tangan kiri.


Selangkah demi selangkah Rani memulai perjalanannya ke rumah Nenek. Rumah Nenek masih jauh. Rani harus menempuh perjalanan sekitar 4 kilometer. Padahal di tempat itu tidak ada becak ataupun sado. Rani harus menempuh jarak sejauh itu dengan menggunakan kedua kakinya.


Baru beberapa ratus meter melangkah, Rani sudah berhenti. Kedua tas yang dibawanya memang cukup berat. Sambil mengusap peluhnya Rani menoleh ke kanan dan kekiri. Namun, jalan menuju desa Nenek tetap lengang.


"Sepi. Kok tidak ada orang pulang dari pasar," gumam Rani. "Baiklah aku akan pelan-pelan. Barangkali sebentar lagi ada orang sedesa Nenek pulang dari pasar."


Bagi gadis sekecil Rani kedua tas itu cukup berat. Terutama tas yang berisi oleh-oleh. Entah oleh-oleh apa yang dititipkan ibu. Oleh-oleh yang dibawa ke desa memang selalu banyak. Oleh-oleh itu akan dibagi-bagikan pada saudara-saudara Rani. Hampir seluruh saudara dari pihak ibu tinggal di desa itu.


Terik matahari mulai terasa menyengat. Peluh seakan membanjir dari tubuh Rani yang kecil itu. Sambil menggigit bibir menahan tangis Rani terus melangkah. Rasa capai, haus, lapar dan kesal campur aduk menjadi satu. Rani seakan ingin menjerit menumpahkan rasa kesalnya.


Hari semakin siang. Rani terus menapak di jalanan desa yang berdebu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk sekedar menarik napas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah lautan padi. Sesekali angin kering bertiup mengusap wajahnya.


"Oh, ah, capai.... capai..." keluhnya sambil melemparkan begitu saja kedua tas bawaannya. Rani lalu duduk di rerumputan tepi jalan. Ia sama sekali tidak mengindahkan debu yang mengotori bajunya. Rani sangat kecapaian. Padahal rumah Nenek masih jauh. Tak terasa air matanya mulai menetes.


Sebetulnya Rani tak akan menderita seperti itu, kalau saja ia mau bersabar. Rano kakaknya yang duduk di kelas enam juga akan ke desa. Namun sebelum pergi Rano harus membantu Ayah membetulkan pompa air. Paling tidak dibutuhkan waktu dua hari untuk membongkar pompa air. Rani tidak sabar kalau harus menunggu selama itu. Ia sudah sangat rindu pada Nenek. Karena itu ia mengambil keputusan, akan berangkat ke desa seorang diri.


"Kamu berani?" tanya Rano waktu itu.
"Mengapa tidak?" jawab Rani. "Kalau di jalan ada yang menggangguku. Ciatt ..." Rani memperagakan beberapa jurus silat. Dan ... berrr ... Rani meloncat ke arah kakaknya sambil melancarkan tendangan. Rano menangkis lalu balas memukul. Kalau saja ibu tidak datang melerai, keduanya pasti sudah berantem.


"Kalau begitu tinggalkan oleh-oleh itu," kata Rano akhirnya. "Biarlah oleh-oleh itu aku yang membawa."


"Tidak! sahut Rani bersikeras. "Datang ke desa tanpa oleh-oleh tidak lucu!"


"Jadi, oleh-oleh seberat itu akan kaubawa?"
"Ya!" sahut Rani ketus.


"Baiklah, Tuan Putri. Silahkan berangkat ke desa untuk menjumpai nenek tercinta," Rano membungkuk lalu tangannya melambai menirukan adegan drama di teve.


"Huh!" Rani hanya mencibir. Rano terbahak.


Kini ditengah sawah Rani menyesal, karena telah berangkat sendiri. Tapi penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kini ia harus berjuang seorang diri melawan rasa capek, haus dan lapar. Ia harus berhasil. Ya, berhasil mencapai rumah Nenek!


"Haiit!  Ciaat!" Ciaat!" Rani serentak melompat lalu melancarkan empat kali pukulan ke udara. Dengan napas terengah-engah diraupnya kedua tas bawaannya. Lalu dengan langkah ditegap-tegapkan Rani berangkat.


"Raniii!" jerit Nenek menangisi kedatangan cucunya, diusapnya peluh yang membasahi wajah dan tubuh Rani. "Kamu dengan siapa? Sendirian dengan tas seberat ini. Oh, minum! Minum dahulu, cucuku." Nenek bergegas mengambil air kendi yang dingin itu lalu membasahi kerongkongan Rani.


Paman, Bibi, dan seluruh saudara Rani di desa segera berkumpul. Di antara bibinya ada yang menangis. Mereka mengira Rani pergi ke desa tanpa izin kedua orang tuanya.


"Rani tak apa-apa, Nek, Bibi," kata Rani setelah hilang segenap rasa lelahnya.


"Dalam suratmu kamu bilang akan datang sekitar tanggal lima belas," kata Nenek.


"Ulangan catur wulan kali ini diajukan sepuluh hari, Nek. Seminggu kemudian terima rapor. Lalu Rani langsung kemari."


"Tapi mengapa harus dengan membawa tas seberat itu," sela Bibi dengan nada penuh sesal.


"Begini, Bi," sahut Rani sambil tersenyum. "Menurut perkiraan Rani pasti banyak tetangga Nenek yang pergi ke pasar. Nah, masa tidak ada orang yang mau membantu membawakan tas ini."


"Perkiraanmu salah, Cu!" Nenek terkekeh. "Hari pasar kan jatuh dua hari lagi. Tentu saja tak ada orang pergi ke pasar. Lagi pula sekarang sedang musim orang menyiangi rumput dan menyebar pupuk. Oh, Cu! Kasihan benar nasibmu."


"Hitung-hitung sebagai penambah latihan ilmu silatmu," Paman ikut menyambung. "Kata ayahmu, kau semakin rajin latihan silat. Bagus!"


Hati Rani menggunung menerima pujian Paman. Secara tidak langsung semangat ilmu silatnyalah yang turut membantu. Dengan semangat itu ia berhasil membawa beban berat ke rumah Nenek. Hatinya puas, walaupun harus ditebus dengan pundak dan tangan yang lecet. Lecet akibat kedua tali tas bawaannya.


Sumber: Majalah Bobo, no.50 - 19 Maret 1988

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...