Jumat, 01 Juli 2011

DARES DAN CELEPUK

Di sebuah kota tua ada sebuah rumah tua. Atap rumah ini menjulang tinggi ke atas. Konon, rumah yang beratap tinggi, hawanya sejuk.

RUMAH tua itu dikelilingi oleh kebun yang luas. Dari jalan umum menuju rumah tua itu ada jalan khusus melintasi kebun tadi. Di kedua tepi jalan itu tumbuh pohon palem yang sudah tua juga.

Dibawah atap rumah yang tinggi itu tinggal sekawanan burung. Setiap pagi mereka berkicau menyambut terbitnya matahari. Di sudut lain yang gelap ada sebuah sarang yang menyendiri. Di situ tinggal sepasang burung dares bersama seekor anaknya.

Di antara pelepah daun pohon palem juga ada sarang-sarang burung. Di sana setiap pagi mereka ramai berkicau. Selain burung-burung itu, sepasang burung cepluk bersama anaknya juga bersarang disitu.

Burung Dares adalah burung malam. Begitu juga Burung Celepuk. Mereka termasuk satu keluarga besar: Burung Hantu. Burung hantu ada dua kelompok, yang 'berkuping' dan yang 'berkerudung'.

Burung Celepuk adalah burung hantu yang 'berkuping'. Di atas kepalanya sebelah kiri dan kanan, ada bulu-bulu yang berdiri menyerupai kuping, melainkan lubang yang tertutup bulu. Tubuh burung celepuk kecil, hanya sebesar burung kaka-tua. Bulunya berwarna coklat-kemerahan, bergaris. Suaranya seperti orang keseduan, tapi keras sekali, memanggil namanya sendiri, "Puk-puk-puk-puk".

Burung Dares adalah burung hantu yang 'berkerudung'. Dia mempunyai bulu-bulu diatas kepalanya, yang kelihatannya seperti kerudung. Warna bulunya putih kotor, berbintik warna tua, seperti warna bulu ayam mutiara. Badannya sebesar ayam, suaranya serak tinggi, memanggil namanya sendiri juga,  "Reeeee-reeeee-reeeee."

Kedua burung itu masing-masing mempunyai seekor anak. Anak Burung Dares jantan, anak Burung Celepuk betina. Kedua anak burung hantu ini menetas pada waktu yang hampir bersamaan dan kini mereka sudah remaja.

kebiasaan kedua burung itu, apabila Burung Celepuk pulang dari berburu mangsa, Burung Dares berangkat mencari makan. Mereka saling mengenal, biasanya juga saling berkunjung.

Pada suatu malam, saat bulan bersinar terang, keluarga Celepuk duduk di tangkai daun pohon palem. Ketika itu keluarga Dares keluar dari sarang mereka dan singgah ke rumah keluarga Celepuk.

"Selamat malam," sapa para tamu itu.

"Oh, selamat malam. Apakabar?" sambut Burung Celepuk.

"Baik! Tentunya kalian tidak berbeda? Mana anak kalian?" tanya Burung Dares.

"Baru saja masuk. Katanya sudah mengantuk," tukas Bu Celepuk.

"Anak kalian itu cantik sekali. Ingin rasa kami bermantukan dia," kata Pak Dares.

"Kami tidak keberatan, asal mereka sama-sama mau," jawab Pak Celepuk.

"Seandainya mereka mau, kami dari pihak jantan sepantasnya memberi hadiah. Hadiah apa yang kalian minta?" tanya Pak Dares. 

Mereka diam selama beberapa waktu. Memikirkan hadiah apa yang pantas mereka pinta. Kata Bu Celepuk kepada suaminya, "Mau minta hadiah apa kira-kira, ya Pak?"

"Aku sudah lama bercita-cita mempunyai kota khusus untuk burung hantu. Bagaimana kalau kami minta sebuah kota saja, untuk dijadikan kota burung hantu?"

"Iya, Pak! Jadi kita dapat tetap berdekatan dengan anak-anak kita. Tapi, apakah mungkin keluarga Dares dapat mencari sebuah kota untuk dibuat kota burung hantu?" ujar Bu Celepuk.

Pak Dares terkejut mendengar permintaan itu. Tetapi perasaannya ditekan. Katanya kemudian, "Bukankah kita biasa bersarang dibawah di bawah atap gereja tua, rumah tua, gudang atau lumbung. Di pohon-pohon yang berpelepah daun lebar, di pokok pohon yang berongga. Kalau semua itu letaknya berdekatan, bukankah daerah itu sudah dapat kita katakan sebuah kota burung hantu?"

"Maksud saya benar-benar sebuah kota seperti kota milik manusia. Kita masing-masin mempunyai sebuah rumah," sambung Pak Celepuk.

"Bisa saja kita tinggal di sebuah kota yang sudah ditinggalkan manusia. Seperti biasa kita tinggal disarang burung lain, yang sudah mereka tinggalkan. Misalnya sebuah kota yang rusak karena banjir, kebakaran, gempa bumi atau luapan lumpur dari sebuah gunung yang meletus. Mau pilih yang mana?"

"Kami ingin sebuah kota baru dan bagus, tapi masih kosong Pak Dares. Di sana harus ada pasar, toko, sekolah kantor, restoran, hotel, tempat beribadah,"  ujar Pak Celepuk.

"Aaah, Pak Celepuk, untuk apa? Bukankah kita lebih senang memburu mangsa, untuk apa pasar dan toko? Tidak mungkin kita membuka restoran, karena kita selalu makan makanan mentah. Seandainya kita membuka kantor, siapa yang akan mengelolanya? Tidak mungkin pula kita membuka hotel. Tidak ada turis yang ingin mengunjungi obyek wisata di malam hari."

Pak Dares berhenti menerangkan. Pak Celepuk tidak berkata apa-apa. Pak Dares lalu mengusulkan, "Memilih hadiah lain saja, yang lebih berguna, Pak Celepuk."

Saya masih tetap ingin mempunyai sebuah kota bagus yang dijadikan kota burung hantu," Pak Celepuk bersikeras.

"Lha kalau tidak ada?" tanya Pak Dares.

"Kita tidak jadi berbesan saja," sahut Pak Celepus ketus.

"Aneh kalian ini!" ujar Bu Dares. "Sudah begini saja! Kita pergi saja ke Pak Kancil! Biasanya dia dapat memecahkan persoalan yang rumit. Setuju Pak Celepuk?"

Esok harinya, pagi-pagi benar mereka pergi mencari Pak Kancil. Setelah berjumpa, mereka mengutarakan persoalan mereka. Pak Kancil mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Ditawari hadiah, tapi yang diminta mustahil," katanya, "Namanya juga hadiah. Seyogyanya kita terima seadanya, serela yang memberi. Jangan menerima hadiah sambil menggerutu. Sepantasnya bahkan kita harus berterima kasih. Kalau Pak Celepuk tetap memaksa. Tidak baik. Padahal belum ada kesepakatan dari anak-anak kalian, bukan? Kalian ini seperti berebut tulang tanpa sumsum."

Setelah berhenti sebentar, Pak Kancil kemudian meneruskan, "Pak Dares, kan tidak ada kota bagus yang kosong. Lalu, apakah akan kalian biarkan anak kalian itu seumur hidup tidak mendapat jodoh? Kejam benar Pak Celepuk!"

Pak Kancil lalu memejamkan mata sambil berpikir. Akhirnya berkata, "Menurut pendapatku, memang anak kalian tidak cocok. Coba perhatikan! Celepuk berbulu coklat-kemerahan, bergaris. Dares bulunya putih kotor berbintik-bintik. Lalu bulu cucu kalian nanti bagaimana coraknya?  Celepuk berkuping, Dares berkerudung. Kepala anak mereka akan bagaimana bentuknya?  Suara Celepuk seperti orang keseduan, suara Dares serak tinggi. Lalu, bagaimana pula suara cucu kalian nanti?  Kasihan, kalau cucu-cucu kalian sampai dikucilkan oleh masyarakat burung hantu."

Dares dan Celepuk sama-sama mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti dan setuju. 

"Benar sekali kata-kata Pak Kancil," ujar Pak Celepuk, menyadari kesalahannya. "Kami lega telah dibuka pikiran kami.  Terima kasih atas nasihat Pak Kancil. Kami mohon diri."

Dares dan Celepuk lalu pulang dengan perasaan puas. Mereka pun tetap bersahabat seperti sedia kala, sekalipun gagal berbesan. Pak Celepuk pun sadar, sebuah kota bagus kosong tidak mungkin ada.

Sumber : Majalah Bobo, No.52 - 2 April 1988

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...