Di depan rumahnya, Doni sedang memperhatikan teman-temannya yang asyik bermain. Di halaman rumah Iwan sekelompok anak sedang bermain kelereng. Sesekali terdengar teriakan dan tawa mereka. Apalagi teriakan yang keluar dari mulut Agil. Anak ini memang periang sekali. Kalau bermain suka sekali melucu. Ini yang membuat teman-temannya senang padanya. Rasanya kalau tidak ada Agil permainan apapun jadi tidak seru.
Selain Agil dan Iwan, tampak juga Madi, Dian, Joko dan Arief.
Jarak antara rumah Doni dan rumah Iwan tidak terlalu jauh. Jarak yang berdekatan ini, membuat Doni dapat melihat dengan jelas kesibukan teman-temannya.
Doni menghela napas panjang. Ingin sekali ia ikut bermain bersama teman-temannya itu. Tetapi ia malu, karena kemarin baru saja ia berkelahi dengan Arief.
Waktu itu mereka sedang main kelereng. Arief menang. Tidak seperti biasanya, kali ini Doni kalah. Sejak kekalahan pertama, permainan Doni semakin kacau. Dengan gaya yang kocak Agil berkata, "Wah Arief hebat, nih. Yahut! Sekarang sih Doni nggak ada apa-apanya." Anak-anak yang lain tertawa.
Doni merasa semua mengolok-ngolok dirinya. Dengan cepat kemarahan Doni terpancing.
Suatu saat, ketika Arief mendapat giliran membidik, Doni dengan sengaja menahan kelereng Arief dengan kakinya. Tentu saja kelereng Arief tidak dapat mengenai sasarannya. Terjadilah pertengkaran kecil yang diakhiri dengan perkelahian. Doni pula yang memulai perkelahian itu. Anak-anak yang lain berusaha melerai.
"Kamu kok pemarah sekali sih, Don," kata Iwan.
"Jangan begitu dong Don, ini kan hanya permainan saja. Menang atau kalah sama saja. Kita kan sama-sama kawan," kata Dian menyatakan ketidaksenangan teman-temannya pada Doni.
Doni dalam tiap permainan memang dikenal selalu mau menang sendiri. Kini ia berdiri sendirian di pagar halaman rumahnya. Matanya menatap kosong ke depan. Ditahannya sekali lagi keinginannya untuk ikut bergabung bersama teman-temannya. Selain malu, ia juga takut kalau-kalau nanti teman-temannya akan mengusirnya bila ia datang.
Kini Doni menyadari kekeliruannya. Ia tahu kini bahwa ia tidak bisa bermain sendiri. Ia sadar bahwa ia membutuhkan teman-temannya.
Ia tahu juga, bahwa sifatnya yang pemarah dan selalu mau menang sendiri sangat merugikan dirinya sendiri.
"Hei Don. Sedang apa kau?" tanya Iwan tiba-tiba.
"Jangan suka melamun, nanti cepat tua," kata Agil. Semua anak tertawa.
Doni seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Di hadapannya sudah lengkap teman-temannya yang tadi sedang bermain kelereng.
Arief maju ke depan, lalu mengulurkan tangannya.
"Maafkan aku, Doni. Kita lupakan saja peristiwa kemarin."
"Seharusnya akulah yang minta maaf pada kalian. Terutama padamu Arief," jawab Doni menahan keharuan.
"Untuk persahabatan kita semua, ayo kita ke lapangan. Kita rayakan dengan main bola sama-sama," kata Joko bersemangat. Di tangannya sudah ada sebuah bola kaki. Yang lain mengikutinya berjalan menuju lapangan.
Agil menarik tangan Doni. Seperti robot, Doni mengikuti teman-temannya.
Hati Doni terenyuh. Tak disangka teman-temannya begitu baik padanya. Tidak ada rasa dendam sedikitpun. Ia kemudian memarahi dirinya sendiri yang tadi tidak berani datang meminta maaf terlebih dahulu. Saat itu pula, Doni berjanji akan menjadi teman yang baik bagi siapa saja.
Sumber: Majalah Bobo no.42 - 28 Januari 1989
0 comments:
Posting Komentar