MENYENANGKAN sekali akhirnya kita bisa berkumpul lagi dengan teman-teman," gumam Ulis.
"Tentu saja. Dan semoga di kelas lima ini suasananya akan bertambah menyenangkan. Kelas baru, wali kelas baru, dan ketua kelas baru," timpal Titi seraya tersenyum.
"Ketua kelas baru? Ah, aku lebih senang kalau Joko tetap menjadi ketua kelas. Waktu kelas empat kan dia menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas dengan baik," sergah Ulis. "Ti, apakah kamu berminat mencalonkan diri menjadi ketua kelas?"
Titi tertawa kecil mendengar pertanyaan sahabatnya. "Tidak. Masih banyak teman kita yang lebih baik dari aku. Asal tidak Windya saja yang menjadi ketua kelas," jawab Titi kemudian.
"Aku akan memilihnya kalau saja ia bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Kebiasaan yang ingin menang sendiri dan sombong itu ...."
Ucapan ulis terputus karena tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih berhenti mendadak di dekat mereka. Seraut wajah muncul dari jendela pintu mobil. Itu wajah Windya yang baru saja mereka bicarakan.
"Hei, kalian, ikut mobilku saja!" ajak Windya.
Ulis dan Titi saling berpandangan, agak ragu. Ini tidak biasanya Windya berbuat begitu. Dulu-dulu Windya selalu meluncur begitu saja dengan mobil antar jemputnya tanpa mau mengajak siapa pun.
"Nanti kesiangan," kata Windya lagi.
Mau tidak mau akhirnya Ulis dan Titi mau menerima ajakan Windya. Apalagi Windya sudah membuka pintu belakan mobil.
"Kemana saja kalian liburan?" tanya Windya membuka percakapan di dalam mobil.
"Aku liburan di rumah nenekku di Yogya," jawab Titi.
"Kalau aku ke rumah uakku di Cililin dekat Waduk Saguling," giliran Ulis yang menjawab. "Kamu sendiri pergi ke mana?"
"Ah, aku diajak jalan-jalan ke Danau Toba oleh Omku yang ada di Medan. Nanti di sekolah saja kuceritakan, bagaimana pengalamanku di sana."
Ulis manggut-manggut. Sementara itu Titi masih bingung dengan perubahan sikap Windya.
"Jangan-jangan ada sesuatu yang direncanakan Windya," pikir Titi. Ah, tapi tidak baik berprasangka buruk. Siapa tahu Windya memang sudah berubah setelah liburan panjang.
"Kalian sudah siap dengan pemilihan ketua kelas nanti?" Windya melontarkan pertanyaan lain.
"Kami berdua cuma akan memilih saja."
"Bagaimana pendapat kalian kalau aku mencalonkan diri?" tanya Windya, membuat Ulis dan Titi terkejut.
"Siapa saja berhak mengajukan diri untuk jadi ketua kelas. Cuma hasilnya tunggu saja setelah pemilihan," Ulis menjawab mewakili Titi.
Windya tersenyum kecil. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Dua bungkus coklat yang diambilnya segera disodorkan kepada Ulis dan Titi.
"Kalian tentunya mau memilihku, bukan?" ucap Windya kemudian.
Ulis dan Titi tidak menjawab. Mereka memasukkan coklat pemberian Windya ke dalam tas. Mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di pintu gerbang sekolah. Itu berarti mereka harus bergegas turun.
Suasana di kelas baru mereka ternyata sudah ramai. Pagi itu mereka sengaja datang lebih pagi agar dapat mencari tempat duduk seperti apa yang mereka inginkan letaknya. Ulis dan Titi mendapat tempat di bagian tengah. Mereka memang selalu sebangku. Setelah meletakkan tas segera saja mereka bertegur sapa dengan teman-teman yang lain.
"Lihat Windya, dia mau menegur ramah siapa pun!" tunjuk Ulis.
"Biarkan saja. Seharusnya kita bersyukur."
"Dia juga memberikan coklat seperti yang dilakukannya kepada kita. Ah, kurasa dia juga meminta teman-teman kita agar memilihnya menjadi ketua kelas," ujar Ulis cemas.
"Tenang saja. Teman-teman kita tak akan terpengaruh oleh sebungkus coklat. Butuh waktu panjang buat Windya untuk meyakinkan teman-teman kita kalau ia pantas menjadi ketua kelas. Soalnya semua kan tahu bagaimana sifat Windya," hibur Titi.
Bersamaan dengan itu terdengar bunyi bel masuk. Semua sisa kelas lima masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian masuk Bu Purwanti, guru Bahasa Indonesia. Dialah yang akan menjadi wali kelas di kelas lima.
Setelah sebentar bercakap-cakap, akhirnya Bu Purwanti memutuskan untuk segera diadakan acara pemilihan ketua kelas. Langsung saja kelas menjadi gaduh. Tiga calon segera diputuskan, Mereka adalah Joko, Andi, dan Windya. Ketiga calon itu terlebih dahulu diminta untuk berbicara di depan kelas sebentar.
"Saya harap teman-teman mau memilih siapa yang paling pantas menjadi ketua kelas," demikian Andi berkata, ia mendapat giliran pertama.
"Sudah dua kali saya menjadi ketua kelas. Dan jika saya terpilih lagi, maka saya akan berusaha lebih baik dari sebelumnya," ucap Joko yang mendapat giliran kedua. Semua bertepuk tangan mendengar kata-kata Joko.
"Seandainya saya terpilih jadi ketua kelas, maka saya akan memimpin kelas ini dengan baik. Kelas ini akan paling menonjol di antara kelas-kelas yang lain," ucap Windya diiringi seruan-seruan gaduh teman-temannya.
Pemilihan pun segera dilakukan. Satu persatu seluruh isi kelas lima memberikan suara mereka untuk memilih siapa dari ketiga calon itu yang berhak menjadi ketua kelas. Hasilnya Joko mengumpulkan suara terbanyak, disusul oleh Andi. Terakhir Windya yang tidak mendapat satu suara pun.
Karuan wajah Windya menjadi pucat. Padahal di rumah tadi ia sudah membayangkan dirinya menjadi ketua kelas. Pikirnya, teman-temannya akan memberikan suara untuknya. Bukankah Windya tadi sudah memberi masing-masing temannya sebungkus coklat?
"Lihat sendiri, Ulis, teman-teman kita sudah tahu kok siapa yang terbaik dan pantas dipilih menjadi ketua kelas," bisik Titi kepada sahabatnya.
Mereka sama-sama tersenyum.
Sumber: Majalah Bobo, no.19 Tahun XVII - 19 Agustus 1989
0 comments:
Posting Komentar