Sabtu, 06 Agustus 2011

PERMEN KARET


SUASANA kelas empat menjadi sepi seketika. Hanya suara Pak Guru Dodi yang mengisi ruangan. Ia sedang marah-marah, gara-gara seonggok permen karet melekat di sandaran kursi dan kemudian punggung Pak Dodi. Itulah sebabnya keadaan menjadi sunyi

"Cepatlah, siapa yang melakukan! Kalau tidak ada yang mengaku semua anak akan diberi hukuman!"  Pak Dodi lalu keluar. Pintu kelas dikunci dari luar olehnya.

Kelas seketika menjadi gaduh kembali, saling menuduh siapa yang meletakkan permen karet pada sandaran kursi Pak Dodi. Widodo, sang ketua kelas, cepat-cepat maju ke depan menghentikan suara gaduh teman-temannya.

"Teman-teman tenanglah. Saling menuduh tidak dapat menyelesaikan masalah. Siapa yang telah memasang permen karet pada sandaran kursi Pak Guru?" serunya lantang. Gayanya yang meniru Pak Dodi jika sedang menerangkan membuat teman-temannya makin riuh. 

"Tidak tahu, Pak Guru!" seru Andi.

"Hai Bapak Widodo, saya tidak memasang, lho?" Celetuk Wardoyo dari barisan bangku paling belakang. Suasana kelas makin bertambah riuh. Widodo hanya dapat mengeleng-gelengkan kepalanya. 

Untuk menjadikan suasana kembali tenang terpaksa Widodo menggebrak meja.

"Jangan main-main teman!"

Kami tidak main-main, kami sedang bersekolah!" potong Herpranoto.

"Sadar dong, teman-teman! Kalau begini terus kan kita rugi."

"Tenang saja, Do!"

"Betul Do, jangan khawatir, kami mempunyai banyak modal, jadi kami tidak bakal rugi," bantah Wardoyo yang semakin menambah riuhnya suasana.

"Maksudku kita akan rugi, jika Pak Dodi tidak mau kembali mengajar."

"Oh..."  mereka pura-pura baru mengerti.

Sebelum kembali bicara Widodo membiarkan suasana kelas yang riuh itu, tenang kembali.

"Baiklah teman-teman, mari kita bersama-sama menyelesaikan persoalan ini!"

"Do, aku punya usul!" seru Rita.

"Silahkan, Rita!"

"Bagaimana jika kamu teliti, siapa yang patut dicurigai?"

Widodo berpikir sejenak. Gayanya seperti seorang detektif. Ia memainkan jari-jarinya di atas meja.

"Yang paling saya curigai itu kamu, Rit!" goda Widodo daripada tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Rita merengut. Widodo lalu berteriak lantang, "Teman-teman bila pelakunya tertangkap, apa hukumannya?"

Kelas menjadi sepi sejenak, kemudian dari belakang terdengar suara.

"Dijitak sama-sama!"
"Setuju"
"Betul, kita jitak bersama-sama!"  serempak mereka menjawab.

Widodo mengangguk puas. "Baiklah, sekarang pemeriksaan dimulai. Siapa yang pada jam istirahat pertama makan permen karet harap mengacungkan jarinya !" seru Widodo.

Keadaan kembali sunyi.

Ternyata hampir separoh kelas yang mengacungkan jarinya.

"Siapa lagi? Hanya ini?
Yang belum mengacungkan jarinya harap segera mengacungkan jari."

"Do, kau tadi juga makan permen karet, kan?" seru Herpranoto spontan diikuti oleh teman-temannya yang mengiyakan.

Widodo terhenyak.

"Eh, iya, tadi aku juga makan, ya?" desisnya pelan.

"Sekarang aku ingat Do. Bukankah kau tadi tersinggung, ketika Andi melemparimu kapur. Dan kamu membalas melempar. Kalau tidak salah dengan permen karet yang sedang kau kunyah. Nah, siapa tahu permen itu yang mampir di kursi Pak Guru," kata Herpranoto lagi membuat Widodo menjadi terpaku lemas.

"Malingnya telah tertangkap! Teman-teman mari kita hukum!" teriak Wardoyo yang kemudian disetujui oleh teman-temannya. Widodo tidak takut, malah tertawa. Sisa-sisa permen karet yang masih melekat pada sandaran kursi Pak Guru diambilnya dan dilemparnya lewat jendela.

"Sekarang kamu mengaku tidak, Do?  kata Rita.

"Wah, jangan khawatir saya ini orang jujur kok. Saya mengaku," jawabnya tenang.

"Mari teman-teman kita jitak kepalanya!" teriak Wardoyo sambil berlari menuju Widodo.

"Silakan! Bagi yang akan menjitak saya harap maju satu-satu!" serunya lantang.

Suasana kelas makin riuh,  tapi terpotong oleh terkuaknya pintu kelas. Pak Dodi berdiri dipintu, suasana kelas sejenak menjadi hening.

"Malingnya sudah mengaku, Pak, ujar Widodo 

"Siapa?" tanya Pak Dodi masih diliputi kemarahan.

"Anaknya bernama Widodo, Pak."

Mau tak mau Pak Dodi tersenyum juga mendengar jawaban itu. Anak-anak yang semula diam mulai berani. Mereka juga turut tertawa.
"Mengapa baru sekarang mengakunya?" tanya Pak Dodi seraya mendekati Widodo.

"Tadi lupa, Pak."

Suasana makin bertambah riuh. 

"Baiklah, sebagai hukumannya, kau berdiri ditengah lapangan sampai bel."

Widodo mendengus dan hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu berlari keluar. Baru akan memasuki lapangan, bel tanda pelajaran selesai telah berbunyi. Tawa teman-teman meledak. Widodo berteriak kegirangan, karena tidak jadi berdiri di tengah lapangan.

Bel telah menyelamatkannya dari hukuman.

Sumber : Majalah BOBO, No.52/Thn XV - 2 April 1988


0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...