Rabu, 10 Agustus 2011

RITA ANAK ANGKAT

Rita duduk melamun di depan meja belajarnya. Kata-kata itu tiba-tiba saja terus terngiang ditelinganya. "Rita anak angkat, Rita anak angkat ..." Karena kesal dilemparnya pulpen yang tadi dipegangnya dan ia membanting tubuhnya ke atas tempat tidur.


SEBETULNYA sudah lama Rita mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh teman-temannya. Tapi dia tidak pernah mempedulikannya. Dia yakin teman-teman hanya berniat menggodanya. Tidak sungguh-sungguh! Tetapi akhir-akhir ini dia mulai merasakan kata-kata itu. Tepatnya, setelah mengetahui betapa Mama membedakan kasih sayang antara Dea, adiknya dan dirinya.


Segala keinginan Dea selama ini selalu dipenuhi. Tidak pernah tidak. Tadinya Rita merasakannya sebagai suatu hal yang biasa. Dea memang manja. Semua keinginannya harus terpenuhi, sebab jika tidak, saat itu juga dia akan menangis meraung-raung. Tak peduli di mana dia berada.


Tetapi, lama-kelamaan Rita kesal juga dengan ulah adiknya itu. Itulah sebabnya dia tidak pernah mau pergi bersama Dea. Dia memilih untuk tidak jadi pergi daripada harus pergi bersama Dea. Percuma, bisa-bisa apa yang diingininya tak jadi terpenuhi, karena Dea juga ingin membeli sesuatu. Juga untuk kali itu. Sebetulnya dia malas pergi ke Pasar Baru, walaupun sesungguhnya dia perlu. Tasnya sudah robek, dan itu perlu diganti. Tetapi ternyata Dea minta ikut, dan Mama tidak bisa menolaknya karena kebetulan di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Bik Sinah sedang pulang kampung.


"Janji deh, Ma. Dea tidak minta beli apa-apa. Dea ikut ya, Ma?" ucap Dea, sebelum berangkat.


Akhirnya Mama mengangguk. Rita mengikuti anggukan Mama dengan cemberut. Ia menudingkan telunjuknya pada adiknya, "Awas, kalau lupa," ancamnya, "janji nggak beli apa-apa."


Bukannya takut terhadap ancaman itu, Dea malah meleletkan lidahnya membuat Rita dongkol.


Ternyata benar saja! Kebiasaan buruk Dea berlaku lagi. Baru beberapa toko dimasuki, dia mulai ribut minta dibelikan boneka.


"Dea, bukannya Mama tidak mau membelikanmu, boneka. Boneka Dea di rumah kan sudah banyak. Lain kali saja, ya?" bujuk Mama hati-hati.


Tapi dasar Dea! Dia tidak mau mengerti. Dia malah mulai mengambek. Menangis dan tidak mau beranjak, mogok didepan boneka yang diingininya. Karena tidak enak pada penjaga toko. Mama terpaksa membelikannya. Dan setelah itu dia mulai merengek minta pulang. Padahal tas untuk Rita belum sempat dibeli.


Itu baru satu contoh. Minggu lalu adalah pertengkarannya yang terakhir dan terhebat dengan Dea. Entah, dia memang tak pernah bisa akur dengan adiknya itu. Selalu bertengkar.


Pagi itu hujan turun cukup deras. Jam sudah menunjukkan pukul 6.45. Walaupun begitu Rita tidak takut terlambat tiba di sekolah, karena Papa berjanji akan mengantarnya. Tetapi ketenangan itu sirna, ketika mendengar rengekan Dea.


"Pa, Dea tidak mau naik becak dengan Bik Sinah. Dea mau diantar Papa. Kalau Papa nggak mau mengantar Dea. Dea tidak mau sekolah," pintanya manja.


Huuh! Ingin rasanya Rita mencubit anak itu. Tapi itu tak dilakukannya. Rita hanya bisa memandang kesal pada Dea dan Papa. Benar saja, Papa tidak jadi mengantarnya. "Rita, kali ini mengalah, ya. Rita kan sudah besar," demikian yang dikatakan Papa.


Bosan! Sial, kenapa sekolahnya tidak sama dengan sekolah Dea? Atau paling tidak, TK Dea dengan SD nya searah!


Saat itu bukan main kesalnya Rita pada Dea. Bayangkan gara-gara Dea, dia jadi terlambat di sekolah dan bajunya kotor kena ciprat air hujan. Gara-gara Dea pula di hukum oleh gurunya. Gara-gara Dea pula dia jadi .... Ah, pokoknya kesal!


Karena kesal, hari itu sepulang sekolah Rita terus memarahi Dea. Bahkan ia sempat mencoba mencubit Dea hingga menangis. Rita tak akan berhenti mencubiti adiknya, kalau saja Mama tidak melerainya.


"Rita, apa-apaan sih kamu! Lihat adikmu sampai marah kau cubiti!" 
Dan khotbah Mama pun terus berkumandang. Saat itu tidak ada yang bisa Rita lakukan kecuali menangis. Tidak hanya itu saja, Mama bahkan menghukumnya tidak boleh ikut pergi ke rumah Nenek minggu depan.


Sejak itulah Rita tidak mau berbicara lagi dengan Dea, bahkan dengan Mama dan Papa. Sesuai dengan hukuman, maka minggu ini Rita tak boleh ikut ke rumah Nenek. Ah, makin lama makin disadarinya perbedaan yang ada antara Dea dan dirinya. Ya, dia baru menyadarinya sekarang. Dea tak pernah salah di mata Mama dan Papa. Rita harus mengalah. Jangan-jangan benar kata teman-temannya, dia anak angkat. Ah! Perlahan air mata mulai bersimbah di pipinya.


Permusuhan antara Rita dan Dea terus berlanjut, bahkan Nenek juga mendengar kabar permusuhan itu. Bahkan untuk itulah ia datang. Nenek diminta mama untuk membujuk Rita, karena hanya neneklah yang dipercaya oleh Rita.


"Nenek dengar Rita sedang marah sama Dea. Benar?" tanya Nenek seraya mengelus rambut Rita dengan sayang, "katanya Rita tidak mau bicara pada Dea, juga tidak pada Mama. Kenapa?"


Rita diam saja sementara jarinya sibuk memilin-milin kain batik nenek. Tetapi tanpa disadarinya matanya berkaca-kaca.


"Kok diam? Rita nggak mau cerita lagi sama Nenek?" Nenek mulai membujuknya.


Rita masih diam.  Sementara air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya. Tetapi tak lama kemudian, "Nek, Rita kok tidak dimanja seperti Dea, ya?" bukannya menjawab pertanyaan Nenek, Rita malah balik bertanya.


"Semua permintaan Dea selalu dituruti Mama dan Papa, sedangkan Rita tidak ..."  tutur Rita seraya merebahkan kepalanya di atas pangkuan nenek.


"Lho, siapa bilang? Itu kan hanya perasaan Rita saja. Mama dan Papa tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang antara Rita dengan Dea. Hanya untuk beberapa hal Rita harus mengalah. Bukankah Rita sudah besar? Rita tidak ingat, dulu ketika Rita sebaya Dea, Rita juga dimanja oleh Papa dan Mama. Apa yang Rita minta selalu dipenuhi.


Lihat, boneka dan mainan Rita sampai lemari. Masa Rita lupa?" goda Nenek. "Ah, Nenek jadi ingat kakakmu. Lusi dulu juga punya perasaan seperti itu. Katanya ... Nek, kok Rita lebih disayang oleh Mama dan Papa daripada Lusi, ya?" cerita Nenek sambil terkekeh-kekeh. Tetapi mendadak tawa itu terhenti. Mata nenek berkaca-kaca. Agaknya Nenek ingat akan Lusi, cucunya yang meninggal karena kecelakaan.


Melihat Nenek diam, Rita juga ikut diam. Mendadak dia juga ingat akan Lusi, kakaknya. Dia ingat bagaimana Lusi dulu membencinya. Dalam hati dia membenarkan pendapat Nenek. Oh, tiba-tiba saja dia malu akan tingkahnya selama ini. "Nek ..."


"Apalagi?" Nenek segera mengurungkan niatnya untuk beranjak dari tempat tidur. Ditatapnya cucu yang paling manja itu lekat-lekat.


Rita menggeleng pelan. Senyum terkembang dibibirnya. "Mengenai anak angkat atau bukan, tak usahlah ditanyakan. Aku memang tak perlu meragukan kasih Mama dan Papa," gumamnya dalam hati.


Sumber: Majalah Bobo, no.48 - 5 Maret 1988



0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...