Sejak zaman kuno, Korea terkenal tidak hanya sebagai penghasil permadani yang indah, tapi juga mempunyai kebudayaan timur yang tinggi. Orang-orang Korea juga terkenal sangat ramah, dan kehidupan keluarganya pun selalu nampak harmonis, rukun dan akrab satu sama lain. Mereka pun rajin dan teliti. Cerita rakyat ini adalah salah satu bukti, rakyat Korea mempunyai kebudayaan timur yang tinggi.
DI SUATU DESA di pegunungan bagian barat Korea, hidup dua orang kakak beradik bersama ibu mereka yang sudah tua. Ibu itu sudah menjanda. Hidupnya amatlah miskin. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja berat. Tanggungan keluarga kini menjadi beban kedua anaknya yang masih muda. Mereka bekerja pada seorang kaya di seberang desa. Pekerjaan mereka membelah kayu bakar, memasak air dan membuat perapian.
Suatu hari ketika mereka sedang bekerja, berkatalah si adik kepada kakaknya.
"Kak, ambillah air ke sungai, biar aku yang membelah kayu."
"Biarlah kita kerjakan bersama-sama, setelah selesai baru kita mengambil air ke sungai," jawab kakaknya.
Mereka pun berjalan ke sungai untuk mengambil air dengan bejana. Tapi karena lapar dan lelah, mereka terpeleset dan jatuh, hingga pecahlah bejana yang penuh dengan air itu. Oleh orang kaya itu mereka tidak dimarahi, tapi diusir dan tak boleh lagi bekerja. Mereka pun pulang tanpa membawa makanan seperti yang selalu mereka bawa, setelah bekerja seharian penuh pada orang kaya itu.
Dalam perjalanan pulang, mereka saling berpegangan tangan melintasi jembatan gantung yang panjang. Tetapi baru sampai di tengah jembatan, mereka berhenti karena melihat sesuatu yang indah di dasar sungai yang airnya jernih itu.
Ketika benda itu mereka ambil, terkejutlah mereka, sebab benda itu ternyata sebuah permata! Mereka menyimpan permata itu di dalam saku dan kemudian pulang.
Sesampai di rumah, mereka menceritakan semuanya kepada ibu mereka. Si ibu menyuruh untuk menyimpan permata itu.
Tapi berkatalah anaknya yang pertama, "Bu, di mana kita harus menyimpan permata ini, sedangkan kita tidak mempunyai kotak untuk menyimpannya."
Mereka berpikir mencari kotak untuk menyimpan permata itu. Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menyimpan permata itu di dalam kotak beras mereka yang sudah kosong. Kemudian mereka terlelap tidur.
Pagi-pagi benar, sebelum mereka mencari kerja, kedua kakak beradik itu membuka kotak beras hendak melihat permata. Tapi alangkah terkejutnya mereka.
"Dik, lihatlah, kotak beras kita penuh dengan beras," kata si Kakak.
"Dan permata itu bersinar-sinar di atasnya," teriak adiknya kegirangan.
"Dik, bagaimana kalau kita persiapkan makan pagi kita dengan beras ini," usul kakaknya.
"Baiklah, Kak!" jawab adiknya menyetujui.
Mereka pun siap untuk sarapan pagi bersama ibu mereka. Ketika akan makan berkatalah si ibu kepada mereka, "Anak-anakku, sebelum kita makan, sebaiknya mengucaplah syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dan jangan lupa bagikanlah beras itu kepada para tetangga kita yang miskin."
Mereka kemudian membagi-bagikan beras itu kepada para tetangga. Dan kotak beras itu selalu penuh kembali setiap mereka mengambil beras.
Sampai suatu ketika kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa dan mempunyai pekerjaan yang tetap.
Kakak yang lebih tua telah pula menikah. Kedua kakak beradik itu sepakat untuk hidup terpisah. Mereka bermaksud membagi harta mereka termasuk permata itu.
Maka berkatalah kakak yang lebih tua kepada adiknya, "Dik, permata ini tidak dapat dibagi, maka ambil sajalah untukmu. Kamu boleh pergi untuk menikah dan hidup dengan keluargamu."
"Tidak, ini untuk Kakak! Kakaklah yang pertama kali melihatnya dan membawa pulang permata itu" jawab adiknya.
Mereka ingin membagi permata itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya mereka sepakat mengembalikan permata itu ketempat sediakala, agar ditemukan orang lain yang miskin seperti mereka dulu.
Mereka pun pergi ke jembatan gantung itu dan melempar permata itu ke sungai. Tapi alangkah terkejut mereka, karena ternyata terdapat lagi dua permata di dasar sungai itu. Dan kedua kakak beradik itu mengambil masing-masing satu permata.
Kini mereka hidup dengan keluarganya masing-masing dalam keadaan bahagia dan kecukupan. Sampai sekarang walaupun sudah berilmu tinggi, pandai, dan sudah berkecukupan, orang Korea masih tetap rajin belajar dan bekerja.
Sumber: Majalah Bobo, No.50 - 19 Maret 1988
DI SUATU DESA di pegunungan bagian barat Korea, hidup dua orang kakak beradik bersama ibu mereka yang sudah tua. Ibu itu sudah menjanda. Hidupnya amatlah miskin. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja berat. Tanggungan keluarga kini menjadi beban kedua anaknya yang masih muda. Mereka bekerja pada seorang kaya di seberang desa. Pekerjaan mereka membelah kayu bakar, memasak air dan membuat perapian.
Suatu hari ketika mereka sedang bekerja, berkatalah si adik kepada kakaknya.
"Kak, ambillah air ke sungai, biar aku yang membelah kayu."
"Biarlah kita kerjakan bersama-sama, setelah selesai baru kita mengambil air ke sungai," jawab kakaknya.
Mereka pun berjalan ke sungai untuk mengambil air dengan bejana. Tapi karena lapar dan lelah, mereka terpeleset dan jatuh, hingga pecahlah bejana yang penuh dengan air itu. Oleh orang kaya itu mereka tidak dimarahi, tapi diusir dan tak boleh lagi bekerja. Mereka pun pulang tanpa membawa makanan seperti yang selalu mereka bawa, setelah bekerja seharian penuh pada orang kaya itu.
Dalam perjalanan pulang, mereka saling berpegangan tangan melintasi jembatan gantung yang panjang. Tetapi baru sampai di tengah jembatan, mereka berhenti karena melihat sesuatu yang indah di dasar sungai yang airnya jernih itu.
Ketika benda itu mereka ambil, terkejutlah mereka, sebab benda itu ternyata sebuah permata! Mereka menyimpan permata itu di dalam saku dan kemudian pulang.
Sesampai di rumah, mereka menceritakan semuanya kepada ibu mereka. Si ibu menyuruh untuk menyimpan permata itu.
Tapi berkatalah anaknya yang pertama, "Bu, di mana kita harus menyimpan permata ini, sedangkan kita tidak mempunyai kotak untuk menyimpannya."
Mereka berpikir mencari kotak untuk menyimpan permata itu. Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menyimpan permata itu di dalam kotak beras mereka yang sudah kosong. Kemudian mereka terlelap tidur.
Pagi-pagi benar, sebelum mereka mencari kerja, kedua kakak beradik itu membuka kotak beras hendak melihat permata. Tapi alangkah terkejutnya mereka.
"Dik, lihatlah, kotak beras kita penuh dengan beras," kata si Kakak.
"Dan permata itu bersinar-sinar di atasnya," teriak adiknya kegirangan.
"Dik, bagaimana kalau kita persiapkan makan pagi kita dengan beras ini," usul kakaknya.
"Baiklah, Kak!" jawab adiknya menyetujui.
Mereka pun siap untuk sarapan pagi bersama ibu mereka. Ketika akan makan berkatalah si ibu kepada mereka, "Anak-anakku, sebelum kita makan, sebaiknya mengucaplah syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dan jangan lupa bagikanlah beras itu kepada para tetangga kita yang miskin."
Mereka kemudian membagi-bagikan beras itu kepada para tetangga. Dan kotak beras itu selalu penuh kembali setiap mereka mengambil beras.
Sampai suatu ketika kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa dan mempunyai pekerjaan yang tetap.
Kakak yang lebih tua telah pula menikah. Kedua kakak beradik itu sepakat untuk hidup terpisah. Mereka bermaksud membagi harta mereka termasuk permata itu.
Maka berkatalah kakak yang lebih tua kepada adiknya, "Dik, permata ini tidak dapat dibagi, maka ambil sajalah untukmu. Kamu boleh pergi untuk menikah dan hidup dengan keluargamu."
"Tidak, ini untuk Kakak! Kakaklah yang pertama kali melihatnya dan membawa pulang permata itu" jawab adiknya.
Mereka ingin membagi permata itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya mereka sepakat mengembalikan permata itu ketempat sediakala, agar ditemukan orang lain yang miskin seperti mereka dulu.
Mereka pun pergi ke jembatan gantung itu dan melempar permata itu ke sungai. Tapi alangkah terkejut mereka, karena ternyata terdapat lagi dua permata di dasar sungai itu. Dan kedua kakak beradik itu mengambil masing-masing satu permata.
Kini mereka hidup dengan keluarganya masing-masing dalam keadaan bahagia dan kecukupan. Sampai sekarang walaupun sudah berilmu tinggi, pandai, dan sudah berkecukupan, orang Korea masih tetap rajin belajar dan bekerja.
Sumber: Majalah Bobo, No.50 - 19 Maret 1988